Selasa, 15 Desember 2009

LMF : Status Quo Versus Perubahan (Namun) Statis

Lembaga Mahasiswa Filsafat (LMF) adalah sebuah wadah yang berfungsi menyalurkan suara-suara mahasiswa Filsafat secara keseluruhan. LMF juga bisa berfungsi sebagai lembaga advokasi mahasiswa manakala ada sebuah permasalahan yang terjadi antara mahasiswa dengan pihak dekanat. Melihat peran dan fungsi LMF yang sangat sentral tersebut maka masuk akal sekali apabila ada keinginan untuk menghidupkan kembali lembaga ini yang sempat mati suri. Kita sama-sama telah mengetahui bahwa LMF ini sempat mandeg pada rentang waktu 2006 hingga medio 2008 kemarin. Menurut beberapa sumber, ketika itu terjadi beberapa konflik yang menyebabkan LMF harus berhenti dan beristirahat. Namun, pada pertengahan tahun 2008, beberapa aktivis 2006 semacam Beni Satryo, M. Najib, Adhitya P, Baihaqi Latief, A. Jessica, dan didorong oleh beberapa elemen kampus seperti BKM (Panta-Rhei, Retorika, Sande Monink, KMF) mencoba menghidupkan kembali LMF yang sedang mati suri tersebut.

Keinginan untuk menghidupkan kembali LMF tentu saja berangkat dari fenomena-fenomena yang terjadi di kampus. Ketika itu terjadi komunikasi yang beku antar angkatan dan antar BKM, belum lagi beberapa kawan yang membutuhkan bantuan advokasi, manakala dilarang ikut ujian mid-semester dikarenakan belum melunasi biaya BOP. Maka dibentuklah sebuah agenda yang mencoba membangun kembali lembaga ini, dimulai dengan beberapa kali rapat khusus. Namun, rapat-rapat tersebut tidak menghasilkan apapun selain mengesahkan Beni Satryo sebagai penanggungjawab sementara LMF. Sebenarnya ada hasil rapat yang harus terealisasikan segera, yakni pembentukan Sidang Istimewa untuk memilih calon-calon ketua LMF. Namun, ada beberapa poin yang menghambat, yakni salah satunya adalah keinginan untuk berkomunikasi dan berintegrasi terhadap sesama mahasiswa Filsafat masih dipertanyakan.

Kedua masalah tersebut belum terselesaikan dan apabila LMF tetap dibentuk diatas permasalahan tersebut, maka yang akan terjadi hanyalah memperkeruh suasana. Ketika mahasiswa masih bergelut pada proses komunikasi dan integrasi, maka dirasa sangat logis apabila LMF adalah bentukan sebagian dari kelompok tertentu yang pasti tidak representatif. Logikanya, bagaimana bisa membentuk sebuah lembaga yang representatif jika elemen-elemen dalam LMF itu sendiri sedang berkonflik (proses integrasi dan komunikasinya).

Ketika LMF hadir/dibentuk diatas permasalahan tadi (top à bottom) maka otomatis kawan-kawan hanya akan kehabisan energi untuk menjadi semacam mediator terhadap kelompok-kelompok yang bertikai. Seharusnya permasalahan komunikasi dan integrasi mahasiswa Filsafat terselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian membuat sebuah wadah yang semakin mempersatukan kekuatan mahasiswa Filsafat (bottom à top). Alternatifnya adalah mengadakan forum diskusi, arisan bulanan, atau kumpul-kumpul biasa sebagai sample atas keinginan untuk berintegrasi dan berkomunikasi. Apabila itu sudah berjalan dan animo mahasiswa Filsafat terhadapnya sangat tinggi, maka LMF baru bisa dibentuk kembali. Begitupun sebaliknya, apabila forum diskusi, arisan, dll tidak mampu menjadi sebuah media, artinya LMF yang notabene sebagai wadah komunikasi antar mahasiswa, tidak perlu dibentuk lagi. Apabila tetap ada keinginan untuk membentuk LMF, ketika alternatif tadi tidak berjalan sesuai yang diharapkan, maka sudah pasti ada kepentingan segelintir orang untuk memanfaatkan LMF ini.

Realitas semacam ini harusnya bisa dipahami dengan baik oleh ketua LMF yang baru. Apalagi sudah berhembus kabar bahwa saat ini LMF sudah menjadi semacam OSIS yang hanya kepanjangan tangan pihak Dekanat. Kritik mulai menjamur manakala LMF saat ini tidak mampu mengakomodasi kepentingan mahasiswa, ketika itu adalah permasalahan Osprek. LMF sebagai kepanjangan tangan Dekanat sudah mulai menjadi jelas ketika dalam acara yang dirancang kawan-kawan mahasiswa sama sekali tidak disupport oleh ketuanya. Faktanya, LMF malah menjadi sibuk ketika ada acara yang diselenggarakan pihak Fakultas.

Apakah LMF masih perlu melanjutkan sepak terjangnya? Bukankah perubahan yang statis lebih buruk dibandingkan keadaan yang status quo. Minimal dengan status quo kita tidak perlu membuang energi untuk hal-hal semacam LMF yang masih bobrok. Biarkan keadaan ini sebagaimana adanya, daripada berkoar-koar tentang perubahan namun yang terjadi keadaan tetap statis bahkan mungkin bisa lebih buruk.

Bukan bermaksud anti terhadap kebangkitan LMF, hanya saja proses untuk membangunkan macan yang sedang tidur ini perlu ditilik ulang, supaya macan yang sudah bangun dari tidurnya ini tidak menjadi ompong. Apabila proses tersebut sudah berjalan apik, maka macan ini akan menjadi buas dan menggigit, dan tentunya akan banyak harapan yang dipercayakan kepadanya. Bukan begitu?

Terserah apa pendapat saudara [OI]

Depolitisasi Kampus : What Is To Be Done?

Oleh : M. Najib Yuliantoro*




“Diskusi, yuk?”. “Tentang apa?”. “Persoalan-persoalan mahasiswa di kampus”. “Enggak, ah”. “Kenapa?”. “Males, paling cuma itu-itu aja yang dibicarakan!”.

***

Selama hampir empat tahun menjadi “mahasiswa”, kejadian seperti itu barangkali sudah bukan hal baru bagi saya. Sudah berkali-kali saya menemukan dan mengalami realitas mencemaskan seperti itu. Saya sempat berpositif-sangka atas itu semua dengan mengatakan dalam batin, “Ya, mungkin mereka punya prioritas aktifitas yang barangkali bagi saya bukan prioritas”. Hingga akhirnya saya sempat menyimpulkan, “Mungkin kegiatan berdiskusi seperti ini sudah ketinggalan jaman, tidak penting, tidak bermanfaat, dan barangkali saya adalah bagian dari jaman yang tertinggal itu.”

Tetapi mulai detik ini, saya tidak akan menggunakan kesimpulan terakhir itu. Ini fakta, ini real, wajah mahasiswa kita sudah bopeng. Tak segagah dahulu. Untuk ukuran sekarang, menjadi mahasiswa tidak ada istimewanya.

***

Semenjak 2005 menjadi bagian dari gugusan besar “mahasiswa” Indonesia, yang ingin saya lakukan saat itu hanyalah satu: melakukan perubahan. Mahasiswa adalah agent of change. Perubahan adalah harus. Sebab itu, menjadi bagian dari organisasi pergerakan tentu adalah cara strategis untuk melakukan perubahan. Tetapi, anehnya, saat itu saya sama sekali tidak tahu sebenarnya perubahan macam apa yang sedang saya cita-citakan? Apa yang mesti dirubah? Kenapa mesti dirubah? Untuk apa dirubah? Perubahan seperti apa yang akan terjadi jika pekerjaan saya cuma turun di jalan, teriak-teriak, menuntut ini dan itu juga lain hal yang sama sekali tidak saya ketahui jeluntrung-nya?

Saat itu, saya berpikir, saya sedang melakukan suatu pekerjaan yang sia-sia. Cara yang saya lakukan sama sekali tidak elegan, tidak cerdas, tidak radic, bahkan hanya berlangsung secara emosional. Saat itu saya melihat organisasi pergerakan mahasiswa sudah tidak efektif lagi digunakan sebagai media untuk melakukan “perubahan”. Ia tidak netral, cenderung brutal, terkadang anarkis, serta tak jarang terembesi oleh “pesanan” partai politik tertentu, bahkan cenderung berisi ajaran-ajaran yang (men)dogmatis(asi).

Singkat cerita, saya memutuskan untuk kembali ke kampus. Menekuni belajar di dunia akademik. Menumpahkan energi pikiran, tenaga dan waktu hanya untuk menekuni belajar di kelas, dan sejenak melupakan hingar-bingar kehidupan pergerakan mahasiswa yang, saat itu, menurut saya sudah tidak relevan lagi. Seseorang lalu bertanya, “Kenapa tidak relevan?”. Jawabannya sederhana. Setelah reformasi 1998 bergulir, tokoh-tokoh mahasiswa yang masuk di lingkaran kekuasaan faktanya tetap saja “mandul”. Tidak mewarnai apa-apa. Masuk hitungan tetapi tidak diperhitungkan. Mereka terjebak pada lobi-lobi dan retorika politik yang ujung-ujungnya sekadar mempertahankan posisinya di sana. Sementara organisasi pergerakan, menurut pengalaman saya terlibat di sana, tak jarang sekadar menjadi “kepanjangan tangan” dari partai-partai politik yang sealiran darah dengannya. Maka, jelas, ini cara yang korup, busuk, tidak sehat. Bagaimana kita bisa memperjuangkan “kebenaran”, atau melahirkan suatu “perubahan” secara “substansial”, jika cara yang ditempuh saja sudah tidak beres?

Demikian, akhirnya, sesudah melihat proses dan dinamika pergerakan yang serba-nanggung seperti itu, saya merasa “dunia akademik” adalah pilihan yang tepat—Anda boleh tidak sepakat dengan pilihan saya—untuk melakukan “perubahan” di masa-masa yang akan datang. Perubahan apa? Perubahan “nalar”, “cara berpikir”, “perspektif”, “paradigma”, dan hal-hal filosofis lain yang mendasari setiap tindakan manusia. Menurut saya, di level ini secara fundamental kita perlu mempertajam perubahan itu supaya “nalar-nalar” yang merangsek di alam bawah sadar manusia Indonesia dan melandasi “mentalitas inferior” itu sekurang-kurangnya dapat teratasi.

***

Sebelum kita sampai pada, dan melakukan sesuatu untuk, persoalan yang “besar-besar”, seperti “bangsa”, “negara”, “rakyat”, “dunia”, dan hal lain yang terkait dengannya, dalam perjalanan empat tahun (2005-2009) saya hidup—dan berusaha menghidupi kelas-kelas yang saya ikuti—di kampus, saya menemukan sesuatu yang bopeng juga ternyata di sana. Yaitu sebuah tradisi berdiskusi dan literasi mahasiswa yang buruk dan kurang bergairah. Ini menjadi persoalan serius ketika mahasiswa yang notabene laboratoriumnya adalah buku, penelitian dan berdiskusi, justru pusat-pusat tradisi itu semakin sepi. Bagaimana bisa maju, dan memajukan bangsa ini, jika miliu akademiknya saja sudah buruk seperti itu? Situasi ini persis seperti yang dahulu saya temukan di kehidupan pergerakan: sebuah cara dan proses yang buruk untuk sebuah tujuan yang mulia.

Saya tidak tahu kenapa hal itu terjadi. Seolah ada sistem yang (sengaja) diterapkan untuk mengondisikan mahasiswa agar menjadi seperti itu. Persis seperti awal tahun 80-an, yakni munculnya apa yang orang-orang sering sebut sebagai “depolitisasi kampus” melalui kebijakan NKK/BKK. Indikasi adanya upaya semacam itu memang kini bisa kita temukan, misalnya, melalui absensi 75%, biaya pendidikan yang mahal, syarat beasiswa yang mengharuskan penelitian PKM, serta berbagai macam kebijakan-kebijakan makro maupun mikro yang secara pokok mengarahkan kita ke kondisi itu. Seolah ada keadaan yang menyuarakan, “Sudah, kuliah saja yang rajin, lulus, kerja, tak usah urusi yang lain-lain”.

Meski dugaan itu demikian kuat, namun saya tak mau terjebak pada “ekstremitas”, bahwa buruknya literasi, merebaknya “kemalasan berpikir”, minusnya kegelisahan serta kepekaan mahasiswa sekarang ini disebabkan oleh faktor itu-itu saja. Itu sama artinya ketika Anda sedang enak-enak berteduh di bawah pohon durian lalu tanpa Anda duga, kepala Anda terjatuhi oleh buah durian dari atasnya, kemudian tiba-tiba Anda marah-marah dan mengatakan dengan nada menyalahkan, “Kenapa mesti ada pohon durian di sini? Siapa yang menanamnya? Kenapa yang dijatuhi durian itu mesti kepala saya?” dan seterusnya dan seterusnya.

Memang, bagaimanapun, “menyalahkan” sesuatu di luar diri kita jauh lebih gampang ketimbang menyalahkan diri sendiri. Jika saya boleh mengatakan, tanpa bermaksud menuduh siapa-siapa, model berpikir seperti itulah yang saat ini tengah berlaku di antara kita—termasuk diri saya sendiri. Saya sadari sepenuhnya, bahwa itu adalah cara yang tidak produktif, dan sebuah cara yang baik untuk lari dari tanggung jawab.

Barangkali saya perlu mengingatkan bahwa kondisi mahasiswa yang mencemaskan saat ini terjadi bukan berasal dari satu veriabel saja. Semua turut telibat. Banyak variabel-variabel yang melandasi kenapa hal itu terjadi, baik secara vertikal maupun horisontal, struktural maupun kultural. Sehingga ketika kita hendak mempersoalkan tema ini, maka tidak bisa begitu saja kemudian diperbandingkan dengan NKK/BKK Orde Baru. Persoalan yang kita hadapi sekarang ini sudah barang tentu memiliki konteks yang berbeda, dan jauh lebih baik jika dipandang secara menyeluruh, adil, seimbang, serta tidak lepas dari kompleksitasnya. Menuduh hanya pada satu variabel (rezim berkuasa, sistem vertikal, struktural dan atau sebaliknya), sekali lagi, tidak lebih dari cara yang baik untuk lari dari tanggung jawab sekaligus menunjukkan betapa sempit perspektif kita dalam melihat kompleksitas suatu persoalan.

Maka dari itu, jika pun (sekali lagi, jika) memang ada upaya ke arah sana (“depolitisasi kampus”), bagi saya, itu bukan soal. Justru ketika kondisi pergerakan mahasiswa sudah tidak menguntungkan seperti sekarang ini, maka “pengondisian” seperti itu sebaiknya kita manfaatkan saja. Saya malah melihat “peluang” yang membentang luas di sana. Peluang potensial untuk melakukan perubahan dalam maksud yang saya cita-citakan di atas.

Saya cenderung merekomendasikan agar mahasiswa kembali saja ke kampus. Kita bentuk tradisi-epistemik yang segar, yang hidup, yang kuat, yang menantang radikalitas, menantang “kemapanan”. Kita kembangkan pemikiran-pemikiran baru, sebagaimana sepanjang tahun 90-an menempatkan, misalnya, pemikiran-pemikiran kiri-baru sebagai tradisi-epistemik yang hidup di kalangan mahasiswa. Kita “hadapi” paradigma-paradigma “imporan” itu dengan melakukan pemikiran-kembali (rethingking) sebagai bagian dari “investasi-epistemik” guna melandasi “tradisi” dan “peradaban” yang ingin kita kembangkan bagi Indonesia di masa mendatang.

Alasannya sederhana saja. Terlepas dari betapa begitu kuatnya kesalingberkaitan sistem dan “ranah” yang relatif cukup mapan saat ini. Maka, ketika jalan yang tersedia sudah sangat becek, dan jalan di luar itu sudah tidak mungkin lagi terlewati, maka untuk sampai ke seberang, tidak ada pilihan lain selain menempuh jalan yang becek itu. Jadi, jika memang ada “depolitisasi”, mari kita lawan dengan melakukan “politisasi baru” di-ranah-yang-sama. Sebab, menurut saya untuk saat ini tidak cukup strategis jika perlawanan terhadap “depolitisasi” itu dilakukan melalui jalur external opposition, yang merupakan bukan-ranah-yang-sama.

Persoalannya, bagaimana cara kita agar kita tidak ikut terciprati oleh kebecekan itu? Dalam pandangan saya, caranya adalah dengan membentuk subsistem-subsistem baru di dalam "sistem-besar" yang menggelayuti kita saat ini. Subsistem-subsistem ini, betapapun itu kecil dan bukan berskala besar, perlahan-lahan kita arahkan untuk “mengounter” sistem-besar tersebut. Untuk melawan “sistem-besar” itu saya rasa tidak cukup apabila bidikan yang diarahkan hanya dari sisi eksternal saja, sebagaimana lumrah dilakukan dalam sejarah penumpasan rezim oleh mahasiswa Indonesia yang lalu-lalu. Ini fakta, bahwa yang berubah ternyata bukanlah perubahan substansial, yang dapat membuat kehidupan kita menjadi lebih baik, melainkan sekadar pergantian aktor dan pemain, dan berhenti di tataran politik-kekuasaan.

Nah, apabila kita bisa memanfaatkan “pengondisian” yang (apabila benar itu sengaja) dilakukan secara sistematis, yakni dengan cara pembentukan sub-sistem pengounter, yang dalam tawaran saya adalah melalui penggairahan kembali tradisi-epistemik yang tangguh di kampus, maka saya yakin 10 sampai 20 tahun lagi apa yang sudah kita mulai saat ini akan menjadi “bomerang” bagi sistem yang tengah eksis saat ini.

Yang menjadi PR kita sekarang adalah memetakan, apa saja “sistem-besar” itu? Bagaimana pola, karakter dan “nalar” yang melandasinya? Serta bagaimana cara, selain yang sudah saya tawarkan, membentuk subsistem-subsistem-pengounter, dan sejauh mana ia dapat efektif dan “perlu”?

*Karangan ini adalah refleksi atas persoalan-persoalan yang saya hadapi selama hampir empat tahun (2005-2009) sebagai “mahasiswa” (di) Indonesia. Untuk itu, karangan ini saya tujukan bagi mereka yang merasa gelisah atas kondisi dunia mahasiswa sekarang, yang berjalan sempoyongan di tengah hiruk-pikuk kegamangan, yang dihadapkan pada spektrum narasi-narasi agung, yang kesemuanya itu terlalu lembut dan kepayahan, bagi kita, untuk mener(o)kanya.

* Najib adalah seorang mahasiswa Filsafat angkatan 2006, saat ini dia tengah bergelut dengan skripsinya, yang membahas persoalan agama dan sains.