Jumat, 23 April 2010

Akar-Akar Filsafat dalam teori-Teori Sosial

Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri akar atau basis filsafat berbagai perspektif dalam analisis sosial. Seperti diketahui, setiap ilmu, konsep, teori, dan paradigma selalu mengandaikan asumsi-asumsi filsafat tertentu. Jika terdapat banyak konsep, teori, konsep, perspektif, atau paradigma dalam membaca realitas sosial, maka itu berarti mengandaikan akar filsafat yang berbeda-beda. Maka, menjadi penting untuk memahami basis filsafat suatu perspektif analisis sosial, agar bisa lebih memahami asal usul kerangka-kerangka analisis sosial.

Teori-teori sosial, menurut Giddens, selama ini terbelenggu oleh dualisme struktur (structure) dan agen (agency). Strukturalisme selalu mengakarkan segala persoalan pada struktur yang ada, sementara keagenan subjek selalu menimpakan manusia sebagai akar segala sesuatu. Dualisme ini memisahkan secara diametral antara subjek dan objek, antara struktur dan agen, yang seringkali membawa kita pada kegagalan untuk membaca fenomena sosial secara menyeluruh. Demikianlah tarik ulur dalam dunia filsafat dan teori sosial. Masing-masing membangun argumen dan mengembangkan pemikirannya.

Jika ditarik dalam ranah paradigma gerakan sosial, itulah yang disebut sebagai dualisme, yang menciptakan dua oposisi biner (saling berlawanan), yakni antara subjektifisme dan objektifisme, volunterisme dan determinisme. Subjektifisme dan volunterisme menegakkan kedaulatan subjek atau agen, sedangkan objektifisme dan determinisme merupakan lonceng kematian bagi subjek. Yang pertama mengatakan bahwa manusia penentu, sebagi pusat, dan sebagai subjek sejarah, sedangkan yang kedua menegaskan bahwa manusia, termasuk kesadarannya, ditentukan, dipengaruhi, dibentuk oleh struktur yang melingkupinya.

Yang dimaksud dengan subjek atau agen adalah kita, manusia, masyarakat, komunitas, pelaku, penggerak sejarah, atau makhluk hidup. Sedangkan struktur adalah system, aturan, nilai, norma, baik yang dilembagakan seperti peraturan perundang-udangan, atau tidak seperti aturan sosial, adat istiadat, kebiasaan, konvensi, maupun hukum informal yang berlaku di masyarakat.

Dualism tersebut dapat ditemukan dalam teori-teori utama dalam ilmu sosial seperti dalam fungsionalisme parsonian, marxisme, interiaksionisme Goffman, dan strukturalisme Sausserian maupun Poststrukturalisme Foucautldian dan Derridean. Kesemua teori tersebut, menurut Giddens, terjebak dalam dualisme di atas. Berikut ini adalah analisisnya tentang hal tersebut.

Fungsionalisme parsonian yang menjadi pijakan teoretik sosiologi keteraturan dipandang mensubordinasikan subjek (individu, manusia) ke dalam masyarakat. Sebab dalam konstruksi sosial masyarakat, individu bukanlah pencetak nilai, melainkan hanya penerima dan pemindah nilai. Masyarakatlah sebagai sebuah sistem yang menentukan, bukan individu, bahkan individu ini secara niscaya akan melakukan proses penyesuaian terhadap empat subsistem dalam masyarakat (tujuan, adaptasi peran material, integrasi sosial, latensi atau perekat).

Giddens menolak pandangan tersebut dengan basis argumen bahwa setiap individu memiliki kebebasan dan refleksifitas; yang memiliki kebutuhan untuk dipenuhi bukanlah sistem sosial namun pelakunya; melepaskan proses sosial dengan konteks ruang dan waktu. Pendek kata, fungsionalisme ditolak karena meletakkan individu dideterminasi/ditentukan oleh system sosial yang berlaku di masyarakat, dan individu akan selalu menyesuaikan diri dengan system tersebut.

Marxisme mengikrarkan lonceng kematian manusia dihadapan basis struktur corak produksi masyarakat. Marx membagi realitas dalam dua kategori besar yaitu base-structure (struktur basis) dan supra-structur. Yang dimaksud dengan struktur basis adalah corak produksi masyarakat, atau cara masyarakat memenuhi kebutuhan ekonominya. Struktur basis ini hanya terdiri dari dua kelas, yakni kelas yang menguasai alat produksi yang disebut dengan kaum borjuasi, dan kelas yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga dan pikiran, yang disebut sebagai kaum buruh atau proletar. Yang dimaksud dengan supra struktur adalah formasi struktur politik, hukum, agama, dan kesadaran masyarakat.

Menurut marxisme, struktur basis menentukan corak dan warna supra-struktur. Manusia dengan segala bentuk kesadaran dan kegelisahannya, metode pemikiran dan respons sosialnya, ditentukan semata-mata oleh determinisme mode of production (cara produksi). Di sinilah, Giddens mengkritik bahwa marxisme melecehkan kekuatan dan potensi manusia untuk mengelak dan melampaui kondisi objektif di luar dirinya.

Begitu juga dengan strukturalisme Sausserian dan poststrukturalisme. Manusia mampus di belantara bahasa. Kesadaran manusia dibentuk secara sistematik oleh semacam kode tersembunyi, yang tidak disadari, namun memiliki alat kekang luar biasa terhadap manusia. Manusia tidak mampu mengelak dari struktur tersebut yang menentukan segala-galanya. Kode atau struktur ini adalah rimbaraya bahasa, dengan segala aturan dan hukum-hukumnya. Bahasa yang dipakai menentukan pemahaman dan sikap seseorang.

Sebaliknya, interaksionisme simbolik, maupun sosiologi interpretatif lainnya, justru menegakkan kedaulatan agensi. Konstruksi sosial atas realitas ditentukan oleh cara subjek memaknainya. Interiaksionisme simbolik, misalnya, menekankan individu dalam menafsirkan lingkungan sosialnya, dan merekomendasikan manipulasi simbol-simbol untuk berpartisipasi dalam penciptaan kehidupan sosial yang teratur.

Dengan bangunan pemikiran seperti itu, Giddens, dalam rangka mengkonseptualisasi kembali teori-teori sosial, sudah memasuki wilayah filsafat. Giddens yang menawarkan teori strukturasi, mencoba untuk memetakan basis filosofis teori-teori sosial yang ada sebagai pintu masuk untuk merubuhkannya. Hanya saja, pemetaan filosofis tersebut sebatas dalam dua debat besar, yakni soal basis ontologis dan filsafat manusia. Padahal, jika mengacu Gibson Burrel dan Gareth Morgan, paling tidak terdapat empat basis filsafat tersembunyi dalam teori-teori sosial. Keempatnya adalah, basis ontologis, basis epistemologis, basis filsafat manusia, dan basis metodologis.

Basis ontologis memperdebatkan tentang hakekat atau sifat dasar yang ada (what is the nature of reality). Dalam debat ini teori-teori sosial terjebak dalam dualisme pandangan filsafat yang kontras. Yang pertama meyakini bahwa realitas di luar manusia merupakan realitas ciptaan, nama-nama, konsep untuk menjelaskan realitas sosial. Nominalisme, konvensionalisme, atau idealisme, merupakan kanal besar pandangan ini. Yang kedua, sebaliknya, realitas di luar manusia merupakan kenyataan yang niscaya, nyata, dan realitas yang teralami (empirical entities). Realitas ini terpisah secara independen dengan manusia, mendahului eksistensi dan kesadaran manusia.

Debat epsitemologis mempersoalkan hakekat pengetahuan dan kebenaran (what is the truth, source of truth, etc). Debat ini juga menjerumuskan teori-teori sosial dalam dua jurang kesesatan yang ekstrim. Keduanya adalah epistemologi positivis dan antipositivis. Jurang kedua pada dasarnya memekar dalam tiga aliran: postpositivis, teori kritis, dan konstruktivis. Kaum positivis beranggapan bahwa terdapat realitas eksternal objektif di luar manusia yang dapat dikenali dengan menjaga jarak antara objek dan peneliti. Basis keilmuan riset tidak lain adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan melalui pengamatan dan eksperimen. Realitas dapat diteliti dengan ciri khas objektif, dapat diuji, dapat digeneralisasikan, dapat diulang. Riset dalam tradisi ini bertujuan untuk melakukan teorisasi (pendekatan induksi), menguji teori (pendekatan deduksi), dan implementasi teori (falsifikasi popperian).

Kaum antipositivis, sebaliknya, menggeser subjek atau peneliti sebagai faktor paling menentukan dalam mencapai pengetahuan. Pengetahuan tentang realitas sosial hanya bisa didapat dari pengalaman langsung seseorang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Realitas sosial hanya dapat dimengerti melalui sisi dalam, bukan sisi luar, melalui keterlibatan dan interaksi dialogis antara peneliti dan yang diteliti, bukan penjagaan jarak.

Debat filsafat manusia berpusat pada hakekat manusia, apakah bebas merdeka, ataukah sebaliknya, ditentukan oleh lingkungan di luar dirinya. Apakah manusia berkemauan bebas ataukah ditentukan oleh kekuatan suprahuman. Sebagaimana yang terdahulu, teori-teori sosial kembali terperosok dalam lubang yang sama. Terdapat dua konsep filosofis dalam pemahaman mengenai manusia. Yaitu manusia sepenuhnya bebas, pencipta, berkehendak bebas, aktif, menentukan apa yang hendak dan tidak dilakukan, yang disebut dengan konsepsi volunteris. Bertolak belakang dengan yang pertama, konsepsi filosofis determinis dengan tanpa ragu sedikitpun merayakan kematian manusia. Manusia ditentukan oleh realitas eksternal.

Debat metodologis, yang berasyik masuk bertengkar soal cara memperoleh pengetahuan, melahirkan dua istilah yang diambil dari filsuf Jerman, Windelband: ideografis dan nomotetis. Pendekatan nomotetik menyodorkan riset deduktif, induktif, deskriptif, eskpermentatif, dan sebagainya sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, valid, universal. Desain risetnya dikarakterisasikan dengan kejelasan populasi dan sampling, kejelasan pengumpulan data, jelas definisi operasional dan instrumentasinya, serta kejelasan dalam cara analisis data (metode statistik yang dipakai). Alur penyimpulan faktanya adalah kejelasan konsep, yang dijabarkan dalam preposisi, didefinisikan secara operasional, dipilah variabel-variabelnya, dijabarkan dalam unit-unit kecil, kemudian diambil suatu hipotesis.

Refleksi: Melampaui dualisme radikal, tugas gerakan sosial

Semua teori-teori sosial bertumpu di atas empat basis filosofis di atas. Beberapa ilmuwan dan filsuf menambahkan basis aksiologis yang berbeda pula. Jika dipilah secara garis besar, dalam teori sosial terdapat dua pendekatan terhadap realitas sosial. Pendekatan subjektif yang berakar pada idealisme Jerman dan pendekatan objektif yang berakar pada filsafat positifisme. Pendekatan subjektif bertumpu nominalisme, antipositivisme, volunterisme, dan ideografis, sedangkan pendekatan objektif bertumpu pada realisme, positivisme, determinisme, dan nomotetis.

Posisi keduanya merupakan oposisi biner, dualisme, dan saling menegasikan. Hingga saat ini teori-teori sosial, dari klasik, hingga kontemporer, masih terjebak dalam dualisme tersebut. Kebuntuan teori-teori sosial dalam menafsirkan realitas sosial, apalagi mendorong perubahannnya sebagaimana dengan heroik dipekikkan oleh Marx, tidak terlepas dari akar-akar filsafat tersembunyinya. Kebuntuan ini akhirnya melahirkan sintesis baru yang diciptakan Anthony Giddens dengan mentrasnformasikan dualisme menjadi dualitas. Selama ini, menurutnya, teori sosial tersesat dalam mendefinisikan objeknya. Objek teori sosial terletak dalam persilangan antara agen dan struktur, dalam praktek sosial yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu, dan bukannya pemahaman individu terhadap simbol sebagaimana sosiologi interpretatif, atau dinamika struktural seperti corak produksi sebagaimana keluguan marxisme ortodoks.

Namun ijtihad Giddens nampaknya terbentur tembok buntu yang begitu tebal. Teori strukturasinya terlalu khusnudhon terhadap akhlak tercela atau tendensi-tendensi manusia yang jahat. Formasi sosial, dalam teori perubahan Giddens, dapat ditransformasikan dengan mendiamkan struktur yang mengkerangkainya, terlihat teramat naif dan lugu, di dunia yang begitu pintar memaksa efektifitas, efisiensi, pelipatan akumulasi, hegemoni-hedonistik, dan selalu gagal melembagakan ketulusan, keikhlasan, empatik, dalam lembaga-lembaga modernitas, termasuk universitas.

Empat Respons Terhadap Kemiskinan

EMPAT RESPONS TERHADAP KEMISKINAN

1

2

3

4

Akar Masalah

· Keadaan di luar kuasa manusia

· Suratan nasib

· Bencana alam

· Rendahnya pendidikan

· Lemahnya sumberdaya yg menyebabkan rendahnya standard hidup

· Kecilnya kesempatan

· Rendahnya teknologi

· Eksploitasi

· Dominasi

· Penindasan

· Alienasi

· Struktur dan sistem nilai yang salah.

Tujuan

Membebaskan orang dari penderitaannya

· Meningkatkan produksi

· Menumbuhkan kemandirian

· Memberikan kesempatan yang sama

· Menentang dan mengubah struktur yang menindas

Membangun stuktur ekonomi, politik, hukum dan pendidikan alternatif

Program

· Penanganan kelaparan

· Pusat-pusat pengungsi

· Penitipan anak

· Klinik kesehatan

· Pelatihan teknis:

- pertanian

- industri rumahan

- kegiatan peningkatan pendapatan

- kesehatan

- simpan pinjam

- affirmative action

· Serikat buruh

· Partai politik

· Gerakan

· Program-program penyadaran

Serikat-serikat pekerja, model-model alternatif dalam pendidikan, pelayanan kesehatan , pengembangan ekonomi, kegiatanj berkesenian, pengembangan komunitas, penghayatan agama, pembelajaran antar komunitas.

Jenis Perubahan

PERUBAHAN FUNGSIONAL

PERUBAHAN STRUKTURAL

Tipe Kepemimpinan

Ketergantungan besar pada otoritas

Konsultatif

Terbagi di antara para wakil dari lapis terbawah ke atas. Disiplin ketat

Animasi, pengembangan potensi, partisipasi, tanggungjawab yang terbagi, tanggung-gugat pada rakyat.

Semangat Dasar

· Membantu orang miskin

· Belas-kasih/charity

· Membantu orang untuk bisa membantu dirinya sendiri

Profetik. Menolak kebatilan. Mendorong kebajikan

“Lihatlah, saya membongkar dan membuat semua menjadi baru”

Paradigma

KESEJAHTERAAN

PEMBANGUNAN

PEMBEBASAN

TRANSFORMASI


TINGKATAN

EMPAT TINGKATAN KESADARAN

Situasi Komunitas:

Sikap dan tindakan tipikal

EMPAT TINGKATAN KESADARAN

Tipe-tipe Pendampingan

Kesadaran tertutup atau kesadaran pecah

· Naif

· Tergantung

· Teralienasi

· Tertekan

Masyarakat tertutup, tidak terbuka pada perubahan, atau masyarakat yang pecah, di mana pola-pola baru sulit diterima.

Budaya bisu, fatalisme atau sikap pasrah,“Semua ini kehendak Tuhan”.

“Semuanya memang sudah selalu seperti ini, tidak mungkin berubah”.

Penjelasan-penjelasan magis untuk berbagai peristiwa yang terjadi misalnya, karena kutukan, karena guna-guna.

Alam, budaya dan sejarah adalah sesuatu yang terberi, bukan bentukan sosial. Penerimaan mutlak kepada pihak yg berkuasa misal-nya,“mereka yg kaya memang sudah selayaknya kaya dan yang miskin memang karena malas dan bodoh.”

Cara yang berulang dan tidak berubah dalam memenuhi kebutuhan dasar, ritual-ritual tradisional, pemujaan kejayaan masa lalu, se-dikit sekali upaya untuk mengubah kondisi sekarang dan masa depan.

Pendekatan yg melanggengkan situasi yang ada/menghambat perubahan

Pendekatan yg menyumbang kepada tranformasi

Pendekatan paternalistik – bekerja demi rakyat.

Kebutuhan rakyat ditanggapi lewat tindakan sesaat.

Pemberian cuma-cuma yg menciptakan ketergantungan.

Membuka kesempatan utk pe-ningkatan orang per orang secara individual tanpa mengembangkan rasa tanggung-jawab bersama untuk komunitas.

Bergaul dengan rakyat miskin tanpa bersedia terlibat dalam perjuangan mereka untuk mengubah keadaan.

Mengindentifikasi lapisan kelas sosial dan ekonomi.

Memfasilitasi orang dan kelompok agar lebih sadar, berani bicara, mampu menganalisis,menjelaskan permasalahan dan meyakinkan orang lain.

Mengidentifikasi aspek-aspek agama dan budaya lokal yang bermuatan pesan-pesan pembebasan.

Meningkatkan kemampuan orang untuk memecahkan budaya bisu, berbicara terbuka dan jujur dan mempercayai pengalaman mereka.

Meningkatkan ketrampilan dengan cara mendirikan dan mengelola organisasi untuk mengatasi permasalahan lokal.

Kesadaran tumbuh

  • Peka
  • Pemberontak
  • Kritis terhadap orang lain dan peristiwa tetapi tidak mempertanyakan sistem yang mapan

Ada tanda-tanda perubahan terba-tas misalnya pada teknologi, ba-ngunan fisik, pola-pola sosial.

Konflik antar berbagai kelompok yang berbeda kepentingan.

Ada kesadaran akan ketimpangan, ketidak-adilan,dan tidak adanya pemerataan dari kue pembangunan, ttp yg ditangani hanya gejala, bukan akar masalah.

Ada upaya untuk menata kembali beberapa elemen kehidupan ekono-mi, sosial dan budaya misalnya, tuntutan kenaikan upah perubahan dalam pola relasi keluarga, ke-percayaan yang tinggi kpd pen-tingnya pendidikan formal.

Tindakan lokal dan sendiri-sendi-ri untuk memecahkan masalah mendesak.

Adanya proyek-proyek swadaya

Tindakan cepat dilakukan untuk memenuhi hanya kebutuhan langsung.

Pengelompokan masyarakat dipusatkan pada tokoh lokal yang mengklaim dan mengambil alih inisiatif komunitas.

Proyek-proyek pembangunan atau pengembangan masyarakat kecil-kecilan dengan kepemimpinan yang ditunjuk dari atas dan yang tidak membuka ruang untuk partisipasi rakyat dan proses pengambilan keputusan yang demokratis.

Mendorong berbagai kelompok untuk secara bebas mengemu-kakan pandangan, harapan dan alasan mengapa tindakan harus dilakukan.

Mencari sebab-sebab ketidak-adilan yang terjadi

Mengembangkan pola-pola baru dalam pengambilan ke-putusan dan proyek-proyek kecil yang menerapkan pro-ses perencanaan bersama, aksi-refleksi-aksi, dst.

Tidak mencabut orang-orang yang kritis dan sadar dari komunitasnya, tetapi men-jadikan pandangan dan ko-mitmen mereka milik bersama dan tanggungjawab seluruh komunitas.

Kesadaran Reformatif

  • Mulai berupaya memperbaiki keadaan supaya sistem yang ada bisa berfungsi

Mengakui adanya berbagai lapis kelas sosial dengan kepentingan yang beda.

Konflik terbuka.

Mulai tumbuhnya serikat buruh, tani, rakyat miskin kota, dsb.

Adanya kehendak kuat untuk menentukan nasib sendiri dengan mengandalkan sumberdaya yang dipunya.

Beralih dari persepsi ke analisis.

Mulai mempertanyakan mengapa yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, mengapa ada sebagian kecil orang dengan kekuasaan sangat besar.

Berjuang untuk ikut menentukan keputusan bersama berbagai kelompok pemegang kekuasaan.

Belum mempersoalkan struktur piramida kekuasaan atau nilai-nilai yang menguntungkan penguasa misalnya, undang-undang yang lebih melindungi kekayaan penguasa dari pada melindungi kepentingan rakyat.

Adanya tuntutan kenaikan upah, jam kerja lebih pendek. Senang dengan slogan-slogan.

Berebut kedudukan, hanya mengganti orang, bukan struktur.

Dibentuknya organisasi-organisasi besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan pola kerja yg otoriter dan sentralistik, yg memaksakan ideologi tertentu, tdk mendorong orang untuk berpikir sendiri.

Mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mempertanyakan corak pertumbuhan yang terjadi.

Menganggap kegiatan yang dilakukan sebagai satu-satunya yang tepat dan benar.

Memandang politik hanya sebatas pemilihan umum.

Model-model yang mendorong kelompok-kelompok masyarakat mengkaji situasi secara kritis dan membuat rencana kerja.

Mengkaji perbedaan kepentingan

· antara kelas yang berbeda dalam masyarakat

· di dalam organisasi sendiri

Mendorong terjadinya dialog terus menerus antara pemimpin dan massanya.

Siklus aksi-refleksi yang mengarah kepada evaluasi terus menerus atas nilai, tujuan dan strategi.

Menempatkan perjuangan dalam konteks sejarah.

Kesadaran transformatif

Berkembangnya pola-pola hubungan baru antar kelas

  • menggugat secara mendasar nilai-nilai lama dan menumbuhkan nilai-nilai baru
  • Mengembangkan secara kreatif berbagai jenis tatanan yang mencerminkan nilai-nilai baru di atas.

Keasadaran bahwa ‘kebebasan adalah perjuangan terus menerus.’Karenanya, keterlibatan individu dan kelompok merupakan proses permanen bagi pembaruan dan pembebasan. Adanya kewaspadaan akan kemungkinan berkembangnya pola-pola penindasan baru

Terlalu menekankan pentingnya teknologi demi efisiensi.

Memanfaatkan perbedaan suku, ras, budaya dan agama untuk memecah belah kelompok-kelompok yang pada hakikatnya mempunyai kepentingan yang sama. Sikap menentang imperi-alisme internasional yang asal-asalan, bukan dengan strategi yang dipertimbangkan masak-masak.

Mendorong kebiasaan orang untuk melakukan refleksi atas kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi.

Melakukan berbagai eksperimen kreatif.

Mengganti struktur otoriter dengan struktur swa-kelola dan partisipasi aktif di semua tingkatan.

Adanya komunikasi terbuka dengan dan antar kelompok-kelompok akar rumput. Mendorong terbentuknya jaringan-jaringan kerjasama.

Membangun solidaritas nasional dan internasional dan aliansi yang kuat antar berbagai kelompok dengan kepentingan yang sama.

Bahan diambil dari: Anne Hope and Sally Timmel, Training for Transformation, A Handbook for Community Workers (London: Immediate Technology Publication Ltd, 1999) Book III, pp. 76-79.