Jumat, 20 Agustus 2010

Bahasa Inggris : Kebutuhan Di Dalam Sebuah Keterpaksaan

oleh : Beni Satryo

Di jaman modern dan era globalisasi saat ini, seseorang yang dikatakan buta huruf bukan lagi orang yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan orang yang tidak paham pengoperasian komputer dan tidak bisa berbahasa Inggris. Kira-kira begitulah anekdot yang terlontar dari seorang pembicara di sebuah seminar yang membahas masalah teknologi informasi. Sungguh ironis memang, ketika kenapa kita harus bisa berbahasa Inggris sedangkan kita bukan orang Inggris, misalnya.

Bukan bermaksud menjadi seorang yang fanatik terhadap Nasionalisme, namun bukankah menjadi lucu ketika bahasa Inggris seolah-olah menjadi bahasa yang begitu superior dibanding bahasa negara-negara lain. Bukankah posisi bahasa Inggris adalah sama dan sejajar dengan bahasa lain yang ada ketika kita berbicara bahasa adalah sebuah produk budaya. Lalu, kenapa ada seorang seniman yang membuat penjelasan karya-karyanya lewat bahasa Inggris. Bukankah ketika sebuah karya yang dibuat oleh seorang seniman (contoh Indonesia), dijelaskan menggunakan bahasa asing secara tidak langsung akan melunturkan keaslian karya itu sendiri. Karya tersebut dibuat di sebuah wilayah (contoh Indonesia) dan tentunya dipengaruhi oleh kultur yang ada. Kultur tersebut yang nantinya akan menjadi identitas karya itu sendiri, dan ketika itu dipublikasikan atau dijabarkan dengan bahasa asing, maka otomatis karya tersebut sudah tidak otentik lagi. Kenapa? Karena ada kultur asing yang ikut berperan dalam pembentukan identitas karya tersebut. Lain halnya ketika karya itu dibiarkan saja utuh tanpa ada penjelasan apapun dalam bahasa asing, melainkan bahasa lokal, maka karya tersebut menjadi lebih otentik. Apabila ada orang asing yang ingin mengenal karya tersebut, maka orang tersebut harus belajar bahasa lokal, yang digunakan untuk menjelaskan karya tersebut. Masuk akal bukan?

Lantas bagaimana seniman tersebut bisa maju, ketika dia mempersempit ruangnya sendiri dengan tidak mau menjelaskan karyanya tersebut dalam bahasa yang lebih universal. Coba kita lihat Sigur Ros, sebuah band yang lirik lagunya menggunakan bahasa Islandia, atau komik-komik berbahasa Jepang yang akhirnya tetap bisa mendunia. Kedua contoh tersebut saya rasa bisa menjadi sebuah pembenaran atas perlu tidaknya kita mempublikasikan karya kita atau apapun kedalam bahasa yang lebih universal. Sigur Ros tetap mendunia, bahkan lirik-liriknya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh orang-orang yang membutuhkannya. Komik-komik Jepang tetap terkenal meskipun ditulis dengan bahasa Jepang. Artinya, bahasa universal (bahasa Inggris) bukan merupakan suatu kebutuhan mutlak agar karya kita terkenal di dunia. Ada bahasa-bahasa informal yang bisa menjelaskan karya-karya tersebut, dan yang paling penting kekuatan karakter sebuah karya yang akhirnya bisa membuat orang asing ingin menggali lebih dalam, sekalipun karya tersebut tidak ditulis dalam bahasa Inggris.

Karakter Sebuah Budaya

Sebenarnya bahasa manapun bisa menjadi bahasa yang universal, bahasa yang semua orang di dunia ini mengerti. Caranya adalah dengan membangun sebuah karakter yang kuat dalam konteks nasional. Sebuah negara akan maju pesat apabila dimulai dari pembangunan karakter yang kuat, terutama dalam hal budaya. Budaya adalah suatu produk yang paling otentik yang dimiliki oleh suatu bangsa. Apabila karakter budaya suatu bangsa sudah kuat maka budaya bangsa tersebut akan menarik perhatian dunia. Apabila perhatian dunia sudah tertuju pada budaya tersebut, maka mereka akan mempelajarinya. Untuk mempelajari sebuah budaya sudah tentu harus paham betul bahasa yang digunakan oleh budaya itu sendiri. Bahasa merupakan akses penting dalam mempelajari sebuah budaya, entah itu wujudnya dalam bentuk formal maupun informal. Pada kasus bahasa Inggris, bahasa ini menjadi universal lebih kepada unsur Kolonialisme yang bersemayam didalamnya. Klaim Anglo Saxon sebagai bahasa yang paling tua digunakan sebagai pembenaran atas penjajahan bahasa-bahasa lain, dan akhirnya berujung pada penjajahan budaya itu sendiri. Sebenarnya bahasa kita pun bisa menjadi universal, dengan catatan harus menguatkan karakter budaya kita sendiri. Setuju?

Pembangunan Karakter Sebuah Bangsa

Pembangunan karakter sebuah bangsa harus dimulai dari manusia-manusia yang ada pada bangsa tersebut. Ketika manusia-manusia tersebut sudah di-upgrade, maka akan muncul sebuah budaya yang kuat. Budaya diciptakan oleh manusia, dan budaya sangat tergantung terhadap perilaku manusia tersebut. Manusia bobrok tentu akan menghasilkan budaya yang bobrok pula, begitupun sebaliknya. Supaya lebih menarik, mari kita bicarakan mengenai bangsa kita tercinta ini. Mengapa bangsa yang besar ini seolah menjadi bangsa yang kerdil dan inferior. Mengapa bangsa yang kaya akan budaya ini tidak bisa maju dan selalu saja kalah dengan bangsa-bangsa kecil disekitarnya.

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya. Saking beragamnya budaya yang bersemayam di Indonesia, kita bahkan kesulitan untuk menentukan yang mana yang dikatakan budaya Indonesia, atau budaya nasional. Kawan Pram pernah berkata bahwa Indonesia sama sekali tidak memiliki budaya, yang benar adalah budaya yang ada didalam Indonesia. Misalnya, budaya Jawa, Sunda, Batak, Toraja, dll. Sehingga salah apabila ketika kita melihat suatu budaya yang ada di Indonesia, lantas kita menggeneralisir bahwa budaya tersebut adalah budaya Indonesia. Seharusnya kelebihan budaya ini bisa membawa bangsa ini menjadi lebih bekarakter. Pemerintah saat ini sudah dibutakan dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi, mereka lalai untuk membangun sektor-sektor yang lebih vital ketimbang sektor ekonomi yaitu budaya. Bayangkan, apabila pemerintah berhasil membangun sektor ekonomi, namun lalai membangun sektor budaya, yang terjadi sudah pasti negara kaya ini akan digerogoti oleh moral yang busuk. Negara kaya yang memiliki budaya yang busuk maka tetap saja menjadi negara miskin. Kenapa? Tentu saja karena korupsi dkk.

Bangsa ini masih dipenuhi oleh manusia-manusia yang bobrok. Mochtar Lubis dalam artikelnya yang ditulis di Forum Pranata Humas LIPI menyebutkan secara jelas, manusia-manusia yang menghambat laju perkembangan bangsa Indonesia. Manusia klenik, arogan, kurang integritas, penggerombol, kurang berani mengambil resiko, pengecut, pemarah, etos kerja rendah, adalah beberapa dari banyak contoh yang disebutkan olehnya. Ketika bangsa ini masih penuh sesak oleh manusia-manusia macam demikian, bagaimana bangsa ini bisa berkarakter. Bagaimana bahasa Indonesia bisa menjadi universal.

Kesimpulan

Bahasa Inggris dalam perkembangannya dewasa ini, khususnya di Indonesia, telah mencapai puncak. Menjamurnya tes TOEFL/TOEIC sebagai syarat utama bekerja dan masuk perguruan tinggi adalah sebuah indikator. Bahasa Inggris sebagai sebuah bahasa universal sudah menjadi semacam kebutuhan primer. Namun saya melihat kasus ini, bahasa Inggris sebenarnya bukan sebuah kebutuhan. Kebutuhan sangat lekat dengan pengertian keharusan untuk segera dipenuhi, dan merupakan dorongan yang secara sadar harus dilakukan. Kebutuhan akan bahasa Inggris sebenarnya semu, dan pada kenyataannya, seseorang bisa bahasa Inggris karena “keterpaksaan” bukan kebutuhan. Terpaksa artinya bukan merupakan sebuah kesadaran yang berasal dari dalam diri seseorang, melainkan pengaruh eksternal dari orang tersebut. Mau tidak mau saya harus bisa berbahasa Inggris, demi menunjang pergaulan internasional karena bahasa tersebut adalah bahasa universal. Mau tidak mau saya harus bisa bahasa Inggris, karena saya mau pameran di luar negeri dan supaya bisa mengenalkan karya saya, saya harus lancar berbicara bahasa ini.

Lain halnya ketika andaikata bahasa Inggris tersebut tidak menjadi bahasa yang universal, dan malah bahasa Tagalog misalnya. Sudah tentu banyak orang yang ingin belajar bahasa Tagalog tersebut. Memang analogi tersebut menyalahi aturan-aturan argumentasi yang saya pelajari pada kuliah Logika I, namun minimal analogi tersebut bisa membuat kita berpikir lebih mendalam. Bahasa apapun bisa menjadi bahasa yang universal. Tiongkok sudah hampir mencapai taraf tersebut, ketika kita sama-sama tahu bahasa Mandarin sudah menjadi bahasa kedua setelah bahasa Inggris. Apabila bahasa kita tidak bisa menjadi bahasa yang universal, minimal bahasa kita mempunyai posisi tawar yang tinggi pada tingkat internasional. Jangan malah melacurkan diri pada bahasa Inggris. Nidji, Slank, Dewa 19 adalah pelacur-pelacur bahasa Inggris yang menjual lagu-lagunya dalam format English version supaya bisa laku di luar negri. Kembali pada analogi pertama tadi, bisa jadi mereka menjual lagu-lagu mereka dalam Tagalog version supaya bisa terkenal. Sampah!

Kita harus percaya pada karya-karya (yang merupakan produk dari budaya) kita untuk bisa bersaing di luar negri tanpa bahasa Inggris. Tentu saja dengan tidak asal-asalan percaya diri, namun harus melihat kualitas karya tersebut. Dengan begitu orang asing bisa menjadi tertarik untuk mempelajari budaya kita. Apabila sudah tertarik, otomatis orang asing tersebut mau tidak mau harus mempelajari bahasa kita.

*karya ini pernah dilombakan dalam "Lomba Menulis Cinta Indonesiaku" yang diadakan oleh Kaskus dalam rangka memperingati HUT RI ke-65

Jumat, 13 Agustus 2010

EVOLUSI PERAN MAHASISWA UGM: DARI INDONESIA UNTUK DUNIA

oleh : Moch Najib Yuliantoro

Pendahuluan

Begitu UGM memutuskan menjadi “universitas riset kelas dunia”, konsekuensi dari keputusan tersebut tentu tidak dapat dianggap sederhana, jika tidak ingin disebut inkonsisten. Salah satu konsekuensi yang penulis akan ulas dalam tulisan ini, terkait penegasan kembali peran mahasiswa UGM sebagai agen perubahan, bukan sekedar memenuhi kebutuhan pembangunan tingkat lokal-nasional, namun juga dituntut supaya bergerak menuju level internasional. Adanya pergeseran peran transformatif mahasiswa ini kemudian memunculkan pertanyaan penting: bagaimana agar aktualisasi peran tersebut tetap mengacu pada (dan tidak tercerabut dari) akar budaya di mana mahasiswa itu berada?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu terlebih dahulu dijelaskan tiga penelusuran terkait ide pokok penulisan ini. Pertama, menelusuri pergeseran makna peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Kedua, menelusuri relasi substantif kearifan lokal dan pembangunan berkelanjutan. Ketiga, dari pokok bahasan pertama dan kedua, akan berusaha dilakukan sintesis-reflektif yang dipandu oleh sebuah gagasan berupa revitalisasi (menghidupkan kembali) peran mahasiswa dalam pembangunan berkelanjutan, bukan saja pada tingkat nasional tetapi juga internasional, berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal.

Memaknai “Agen Perubahan”

Betapa begitu sering disebutkan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan (agent of change) bagi bangsanya. Sebutan itu tidak berlebihan, mengingat dalam sejarah pergantian dua rezim pemerintahan otoriter di negeri ini, selalu dipelopori oleh keterlibatan mahasiswa sebagai pemain utama. Tetapi jika melihat fakta disorientasi peran mahasiswa pada satu dekade belakangan, maka sebutan itu perlu dipertimbangkan kembali. Pertanyaan sederhana yang akan muncul segera: (1) apa yang mau diubah oleh mahasiswa? dan (2) pada konteks apa perubahan itu dilakukan?
Dalam banyak kajian, istilah “perubahan” selalu identik dengan “transformasi”. Artinya, setiap berlangsung suatu perubahan, maka ia akan selalu diikuti oleh proses transformasi. Merujuk pendapat Rahardjo, “transformasi” dewasa ini paling tidak mengandung tiga macam persepsi. Pertama, berkaitan dengan perubahan mendasar berskala besar dalam masyarakat dunia yang beralih dari tahap masyarakat agraris-tradisionalis ke tahap industri-modern dan kini masyarakat informasi. Kedua, berkaitan dengan perubahan sosial menurut aliran Marxis, dari sistem feodal ke sistem kapitalis lalu ke sistem sosialis. Ketiga, sebagai ide alternatif terhadap aliran developmentalisme, dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, dari ekonomi berbasis akumulasi modal menuju ekonomi berbasis pemberdayaan rakyat (dalam Mustafa: 2008).

Apabila disepakati bahwa konsep “perubahan” merujuk pada salah satu dari tiga persepsi tersebut, maka pertanyaan (1) dan (2) pelan-pelan mulai ditemukan titik terang jawabannya. Bahwa makna “perubahan” yang perlu digagas oleh mahasiswa saat ini harus mendorong terjadinya transformasi sosial dalam masyarakat. Bukan saja di ranah politik seperti selama ini terjadi, tetapi harus lebih substantif, yakni perubahan pada jantung kehidupan masyarakat, meliputi pembaharuan nilai-nilai dan norma-norma, pola perilaku dan interaksi, sistem organisasi dan lembaga kekuasaan, serta yang paling penting, menghapus mentalitas inferior yang selama ini bergelayut di alam bawah sadar masyarakat kita.

Karena perubahan pada titik-titik tersebut tidak dapat dilakukan seketika dan tiba-tiba, maka dibutuhkan pengetahuan baru, pandangan baru, sikap baru, dan nilai-nilai baru yang mampu mendialogkan konsep-konsep ideal yang dibangun di bangku perguruan tinggi dengan realitas sesungguhnya di jantung masyarakat. Perubahan itu harus berorientasi jangka panjang, bersifat (re)konstruktif dan bukan destruktif. Tepat di titik inilah letak pentingnya bagi mahasiswa supaya dalam setiap penelitiannya selalu didasarkan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan riil di sekitarnya, bukan sekedar memenuhi kepuasan intelektual belaka. Mahasiswa sebagai agen (pelaku) perubahan sudah tidak saatnya lagi duduk di menara gading perguruan tinggi dan teori, tetapi harus lebih membumi kepada realitas di mana kaki mereka berpijak.

Dengan melakukan rekonstruksi makna terhadap konsep “perubahan” tersebut, maka ide-ide pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan lokal, seperti penulis akan jelaskan nanti, menjadi relevan dilakukan. Artinya, untuk menjawab pertanyaan “apa yang mau diubah?” dan “pada konteks apa perubahan itu dilakukan?”, untuk saat ini tidak begitu strategis apabila dilakukan melalui aksi demonstrasi, turun ke jalan, koar-koar penuh heroik, yang pada praktiknya justru tidak menghasilkan apa-apa. Justru akan jauh lebih mengena apabila mahasiswa, bersama bidang ilmu pengetahuan yang dimiliki, terjun langsung tepat berada di jantung persoalan, menjadi problem solver dan melakukan aksi riil di tengah-tengah masyarakat. Dari situlah saripati kearifan lokal ke-Indonesia-an dapat ditemukan (dan dirumuskan), mengonstitusi dan bersinergi bersama program-program pembangunan jangka panjang yang sudah ditentukan.

Relasi Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lokal

Ide pembangunan (developmentalisme) muncul ke permukaan sebagai respon atas konsekuensi modernitas. Itulah sebabnya sering dikatakan bahwa ide pembangunan sesungguhnya adalah bentuk riil dari “modernisasi” (Mustafa: 2008). Ide pembangunan banyak ditemukan di sebagian besar negara-negara berkembang, negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ide pembangunan merupakan jargon penting selama pemerintahan Soeharto, sebagaimana dibuktikan oleh adanya program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) I sampai VI (1969-1999).

Seperti dikemukakan Subandy Ibrahim, program pembangunan Soeharto tidak sepi dari masalah. Sejak program itu digulirkan, ketimpangan sosial dan ekonomi berlangsung masif. Pemerataan dan keadilan tidak berjalan semestinya (Ibrahim: 2004). Persis merujuk pada persepsi ketiga pandangan Rahardjo di atas, program pembangunan Orde Baru telah membentuk struktur sosial tersentralisasi dan akumulasi modal terhenti pada kaum minoritas, yakni para konglongmerat yang dekat dengan penguasa. Berkisar pada koteks tersebut, Arief Budiman lalu mengritik program pembangunan. Menurut Budiman, paradigma pembangunan Orde Baru hanya bertumpu pada aspek produksi material, sama sekali tidak menyentuh aspek manusia sebagai pengambil inisiatif, sang ‘manusia pembangunan’ itu sendiri. Setali tiga uang dengan pendapat tersebut, Sudjatmoko dan Kuntowijoyo jauh-jauh hari telah mengemukakan bahwa ide pembangunan harus dikaitkan dengan gagasan tentang kebudayaan (dalam Ibrahim: 2004).

Bertolak dari pandangan terakhir itulah ide pengaitan pembangunan dan kearifan lokal pada saat ini relevan dibicarakan. Belajar dari masa lalu, upaya membangun adalah upaya membentuk budaya. Di sana ada proses transformasi sosial, di mana masyarakat, baik sebagai objek maupun subjek, terlibat langsung dalam proses pembentukannya. Karena itu, jika mengharap supaya pembangunan memiliki nilai-guna dan awet-berjangka panjang, maka ide pembangunan itu harus menjadi bagian dari, meminjam istilah filosof van Peursen, “strategi kebudayaan” (Peursen: 2000). Artinya, hakikat pembangunan, sebagaimana pula hakikat budaya, harus dipahami sebagai “proses” dan “menjadi”. Ia tidak mengenal kosakata “akhir”. Manusia, sebagai pelaku (agen), adalah subjek kreatif yang memiliki peran strategis dalam menentukan dan menciptakan kebudayaannya sendiri, baik untuk saat ini maupun masa mendatang.
Justru ketika pembangunan dipahami sebagai “proses” dan “menjadi”, itu artinya di sana ada “dialektika”. Sebuah proses akulturasi antara apa yang ada pada “kami” dan “mereka”, dan pada akhirnya berbuah menjadi “kita”. Tepat pada konteks inilah kearifan lokal dapat masuk menjadi subsistem penentu bagi pembangunan, segaris lurus dengan dapat masuknya pula prinsip-prinsip dari luar (modernitas, misalnya) menjadi subsistem bagi pembangunan, tentunya dengan catatan: sejauh proses dialektika itu berjalan fair dan setara. Dengan begitu, hasil dialektika antara “kami” (kearifan lokal) dan “mereka” (modernitas) berfaedah untuk mengerangkai orientasi pembangunan “kita” ke depan. Lalu muncul pertanyaan: apakah kearifan lokal bisa berdialektika dengan nilai-nilai asing itu? Menjawab pertanyaan ini, penulis katakan: bisa!

Barangkali karena apa yang disebut “kearifan lokal” itu sendiri berisi nilai-nilai ke-Indonesia-an yang bersifat universal, seperti telah dengan cerdas dirumuskan oleh pendiri negara ini dalam bentuk Pancasila, maka pada kondisi dan rentang waktu kapanpun, nilai-nilai tersebut tetap relevan digunakan, sebagai bagian yang integral dari “proses” pembangunan.

Setelah melihat relevansi pengaitan antara pembangunan berkelanjutan dengan kearifan lokal di atas, lantas di mana mahasiswa mesti berperan? Tanpa perlu mengurangi sedikitpun nilai-nilai lokalitas kita sebagai manusia Indonesia, mahasiswa tetap bisa melakukan tugasnya sebagai agen perubahan dalam masyarakatnya. Justru setelah melalui pemaknaan ulang terhadap takrif “perubahan” sebagaimana telah dilakukan pada pokok bahasan pertama, penulis melihat peran tersebut kini mengalami pergeseran. Bukan secara revolusi tiba-tiba, melainkan secara evolusi bertahap, peran mahasiswa saat ini bergeser dari yang tadinya hanya berkutat pada problematika di level lokal-nasional, kini pelan-pelan bergerak menuju problematika di level internasional.

Mahasiswa, sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari warga dunia yang karenanya, antara kesadaran menjadi ‘manusia Indonesia’ dan ‘manusia dunia’ pada hakikatnya harus saling mengandaikan dan bersifat interdependensi. Proyeksi pemikiran dan gerakan transformatif mahasiswa pun akhirnya boleh dikatakan ‘melampaui’ Indonesia. Untuk menunjukkan keakuratan argumentasi tersebut, penulis akan meng(k)ajinya dari realitas konkret di mana penulis kini berada, yakni kampus tercinta, Universitas Gadjah Mada.

Evolusi Peran: dari Indonesia untuk Dunia

Ada sedikitnya dua faktor penyebab mengapa pergeseran evolusif itu berlangsung. Pertama, dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa arus globalisasi. Hal ini dibuktikan semenjak ditemukannya teknologi informasi yang mana derasnya rembesan informasi yang ditimbulkannya, telah menggeser karakter masyarakat kita dari masyarakat agraris-tradisional ke industri-modern dan kini masyarakat informasi. Fakta ini persis seperti pandangan Rahardjo di atas. Artinya, akibat globalisasi informasi yang tak terkendali, bagaimanapun telah mendorong terjadinya transformasi sosial dalam skala global di mana pengaruhnya juga mempengaruhi transformasi sosial dalam skala nasional.

Untuk menyebut contoh, sebuah laga Piala Dunia yang saat ini tengah berlangsung di Afrika Selatan, berkat bantuan teknologi informasi, dapat dengan mudah kita nikmati di televisi nasional. Kita tak perlu berletih-letih antri mendapatkan karcis, mendatangi lokasi pertandingan, apalagi menghabiskan uang berjuta-juta untuk biaya transportasi. Cukup hidupkan televisi, sembari menyeruput kopi, hasil pertandingan Argentina vs Jerman bisa kita ketahui saat itu juga. Berkat teknologi informasi pula, video porno Nazril Ilham dan Mbak Luna Maya dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak dibawah usia dewasa. Begitu menakjubkan, bukan? Betapa implikasi globalisasi informasi telah mengarahkan kita pada situasi yang tak terduga, begitu cepat, dan nyaris membuat dunia yang kita huni ini tampak begitu sempit. Tentu globalisasi informasi yang penulis paparkan di sini hanyalah satu dari banyak contoh. Di luar itu, datang begitu banyak isu-isu penting yang pada intinya: mendorong kita supaya bergerak ke arah pandangan-pandangan baru yang bersifat mendunia.

Sebagai respon atas pengaruh globalisasi di atas mau tak mau reformulasi dari dalam diri kita tentu perlu dilakukan. Sebab, seperti dikatakan Sudjatmoko, masa depan kita sebagai negara akan banyak dipengaruhi oleh perhitungan-perhitungan dan kemampuan-kemampuan yang dikembangkan oleh negara-negara di luar Indonesia (Soedjatmoko, 1995). Artinya, dengan kondisi dunia luar yang tengah bertransformasi ke arah kemajuan-kemajuan baru, kita secara tak langsung dipaksa agar juga melakukan adaptasi baru. Inilah sebab persisnya mengapa cendekiawan Kuntowijoyo menganjurkan agar melakukan “inner revolution”, sebuah perubahan mentalitas dan sensibilitas yang radikal setiap berhadap-hadapan dengan jaman yang asing dari asal-usul kita (dalam Ibrahim: 2004). Persis seperti sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebutnya sebagai “inner perspective”, dengan kandungan maksud yang kurang lebih sama dengan Kuntowijoyo (Kartodirdjo: 1990). Berkisar pada konteks inilah penulis menyebutnya sebagai faktor internal. Yaitu, sebuah pergeseran evolusif dari dalam diri kita, menuju penyesuaian-penyesuaian baru, entah sebagai reaksi atau proteksi, terhadap arus globalisasi (faktor eksternal). Terletak pada latar dua faktor itu, sebuah transformasi pun akhirnya berlangsung. Bermuara dari dua faktor itu pula, UGM tak ketinggalan memberi respon melalui perubahan radikal pada, mengutip Sartono, “inner perspective”-nya.

Merujuk diktat “Rencana Strategis Universitas Gadjah Mada Tahun 2008-2012”, UGM memberi penegasan khusus pada visinya, “menjadi universitas riset kelas dunia”. Tetapi, visi itu tidak berdiri sendiri. Terdapat catatan penting yang harus dipegang teguh, “dijiwai Pancasila (UGM) mengabdi kepada kepentingan dan kemakmuran bangsa”. Artinya, poin penting dari visi itu adalah sebuah kesadaran internal UGM bagaimana bisa berkonstribusi dalam skala lebih luas (internasional) namun tetap mengakar pada sosio-budaya bangsanya (Pancasila). Dalam hemat penulis, cita-cita ini sesungguhnya tidak terlalu utopis dan lebih bersifat preventif. UGM sebagai lembaga ilmiah sadar betul bahwa dalam kurun waktu mendatang, satu hingga tiga generasi ke depan, Indonesia mengalami situasi jaman yang sangat berbeda dengan sekarang. Penegasan visi itu, terlepas dari praktik dan kritik yang ada, merupakan persiapan jangka panjang bagi generasi kita agar tidak kejang-budaya (shock culture) saat menghadapi situasi yang berbeda kelak. Serta, yang terpenting, visi itu sesungguhnya adalah sebuah tantangan bagi mahasiswa seberapa besar keberanian mereka melakukan transaksi gagasan (ilmiah) dalam skala internasional dan seberapa tangguh mentalitas mereka tidak terjajah secara akademik.

Dengan berlangsungnya tranformasi perspektif tersebut, maka mahasiswa pun dituntut melakukan adaptasi baru pula. Melihat pilihan-pilihan masa depan yang beranekarupa, mahasiswa harus mampu memetakan proyeksi realitas masa depan bangsanya, dan dari situ, mahasiswa harus berani menjemput dan mengambil peluangnya, hendak jadi apa, peran apa, dan pada konteks apa mereka memberi konstribusi bagi pembangunan bangsanya. Hal ini mengandaikan agar mahasiswa secara proaktif (bukan reaktif) mulai berpikir futuristik, membentuk semacam “arus baru” bagi generasinya, menerobos, yang mengakar kuat pada cita-cita bangsanya namun juga bermartabat dalam interaksi internasional.

Alhasil, dengan melihat kondisi-kondisi ini, kita lalu dapat memahami adanya satu tahapan penting dalam usaha revitalisasi mahasiswa. Yaitu, sebuah evolusi peran dari agen perubahan bagi Indonesia menjadi pemandu perubahan bagi dunia.***

Daftar Pustaka:

Ibrahim, Subandy, Idi, 2004, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta
Kartodirdjo, Sartono, 1990, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah: Kumpulan Karangan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Mustafa, Achsan, Ali, 2008, Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarh, Teori dan Praksis Pedagang Kaki Lima, Inspire Indonesia, Malang
Peursen, CA van, 1988, Strategi Kebudayaan, edisi 19, (diterjemahkan oleh Dick Hartoko), Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Soedjatmoko, 1995, Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan, edisi 4, LP3ES, Jakarta
Rencana Strategis Universitas Gadjah Mada Tahun 2008-2012, disahkan oleh Majelis Wali Amanat UHM dengan Surat Keputusan No. 29/SK/MWA/2007 pada tanggal 15 Desember 2007

Catatan:
Naskah pernah diikutkan Annual Essay Competition 2010

Sabtu, 29 Mei 2010

Sekilas tentang Beyond Good and Evil


Beyond Good and Evil adalah karya Nietzsche yang diterbitkan pada tahun 1886. Karya ini pertama kali diterbitkan setelah buku fenomenal dan monumental Thus Spake Zarathustra, yang menggambarkan prinsip-prinsip utama filsafat Nietzsche dalam bentuk parabolis. Apabila dilihat sebagai suatu parodi Injil, keempat buku Zarathustra memberikan gambaran pada para pembaca tentang aktivitas dan pembicaraan-pembicaraan dari seorang tokoh imajiner, yang tentu saja merupakan juru bicara Nietzsche. Beyond Good and Evil memuat pokok permasalahan yang sama, tetapi dalam karya ini Nietzsche tidak menawarkan pada kita suatu narasi yang memerlukan interpretasi, hanya serangkaian aforisme. Aforisme adalah ungkapan yang tepat, ringkas, dan jelas yang mengandungi atau melahirkan suatu kebenaran umum.

Beyond Good and Evil diawali dengan “Tentang Prasangka Para Filsuf”, dimana Nietzsche memberikan sebuah kritik terhadap tradisi filsafat. Para filsuf, menurut Nietzsche hanyalah orang-orang yang menunjukan diri sebagai pencari kebenaran. Dalam realita, kebenaran yang mereka nyatakan memiliki keterkaitan dengan keberadaan mereka, dan juga dengan konstitusi fisiologis mereka. Para filsuf bukanlah individu-individu yang obyektif, mereka tidak terpisah dari permasalahan ; dan pengetahuan mereka bersumber dari kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, filsafat hanyalah menjadi semacam ringkasan dari pernyataan-pernyataan pribadi, tidak seperti bentuk pemikiran-pemikiran yang lebih ilmiah lainnya. Pada akhirnya, Nietzsche menyatakan bahwa gagasan-gagasan filosofis kita terkait dengan tata bahasa yang terpusat pada subyek yang tidak memungkinkan kita untuk memahami hubungan secara radikal berbeda dengan dunia. Karena alasan inilah, status dari pernyataan filsafat bukanlah sebagai kebenaran atau kepastian melainkan sebuah interpretasi kita terhadap dunia.

Pengungkapan Nietzsche atas prasangka para filsuf dalam bagian pertama buku ini diikuti dengan sebuah sketsa tentang para filsuf baru dengan pemikiran baru dimana pemikiran Nietzsche merupakan bagian pendahulunya. Namun, yang dia berikan pada kelompok filsuf masa depan ini adalah “jiwa bebas”, sebuah istilah yang banyak dia gunakan semenjak akhir tahun 1870’an.

Pada bagian kedua, ada sebuah kemungkinan untuk mendeteksi sejumlah karakteristik yang merupakan karakteristik penting dari “jiwa bebas”. Jenis filsuf ini menempati hierarki tertinggi dalam ranah sosial dan intelektual, menurut Nietzsche jenis ini adalah tipe manusia unggul. Pada beberapa aforisma ia memberikan penakanan pada jenis manusia yang lebih tinggi, manusia yang percaya dan memerlukan “hierarki” sementara disisi lain ia meremehkan demokrasi dan persamaan hak. Oleh karena alasan ini, Nietzsche memberikan sebuah peringatan bahwa “jiwa bebas” tidak sama dengan “pemikir bebas”. Tidak diragukan lagi, jiwa bebas muncul dari agama tradisional, yang selanjutnya menjadi tema utama pada bagian ketiga buku ini, yakni “Disposisi Religius”.

Pemikiran Nietzsche tentang agama berkembang sangat signifikan pada tahun 1870. Meskipun ia adalah anak seorang pastor, dia meninggalkan keyakinannya terhadap agama Kristen, karena dia merasa bahwa agama secara umum, khususnya Kristen, sangat bertanggung jawab atas melemahnya kondisi umat manusia di jaman modern. Dalam Human, All Too Human, agama dikarakteristikan sebagai usaha yang tidak alami untuk menginterpretasikan pengalaman kita. Dalam The Gay Science dalam sebuah aforisma dia sangat tegas dalam menyatakan kematian Tuhan. Dalam Beyond Good and Evil dia menyatakan bahwa ajaran Kristen merepresentasikan “bunuh diri nalar yang tidak pernah berhenti”. Nietzsche bukannya tidak menyadari keuntungan yang diberikan agama kepada paa manusia., meskipun keberadaannya merendahkan manusia. Agama membantu manusia dalam bertahanterhadap keberadaan yang mungkin sangat berat dan membantu kita dalam membentuk suatu tatanan sosial yang dipertahankan dan mengharuskan kita untuk saling mengasihi satu sama lain.

Kecaman terhadap agama, khususnya ajaran Kristen kemudian diikuti dengan sebuah bagian yang memuat beberapa epigram. Masing-masing terdiri dari satu atau dua kalimat ; berbeda dengan bagian lain, yakni tidak disertai penjelasan yang panjang lebar tentang suatu pemikiran. Tetapi, hanya sebuah inti atau ringkasan dari gagasan yang direfleksikan dalam bentuk yang oaling pokok dan tajam. Tema pada bagian ini adalah “Epigram dan Selingan”. Meskipun bagian ini secara filosofis kurang menarik, tetapi mampu menggambarkan kecerdasan dan pandangan-pandangan Nietzche dengan lebih baik dibandingkan bagian lain ke dalam masalah tentang hati dan jiwa. Dengan demikian, bagian ini dapat disebut sebgai selingan nyata, satu jeda yang bertujuan menghibur dan memperingan para pembaca sebelum dan sesudah refleksi-refleksi lain yang lebih berat dalam buku ini.

Beranjak pada bagian berikut, Nietzsche kembali pada tugas filsafat, dan pada gaya aforistiknya, dengan memfokuskan pada masalah-masabelumnya telah dibahas dalam tulisannya. Yang pertama adalah tentang sejarah moralitas. Dalam satu artian tertentu, Nietzsche, meskipun memberikan pertimbangan-pertimbangan yang ekstensif pada moralitas dan etika, bukanlah seorang filsuf moral karena dia tidak berusaha merilis risalah etika atau menyebarluaskan sistem etis. Dia lebih cenderung pada sejarawan atau genealogis etika ; tulisannya difokuskan pada asal-usull dan fungsi nilai moral dalam sejarah manusia. Nietzsche menyatakan bahwa moral, bukanlah sesuatu yang rasional, absolut dan alami. Dunia banyak mengenal sistem moral, dan masing-masing mengajukan klaim umum ; jadi semua sistem moral sifatnya khusus, dipergunakan untuk tujuan tertentu dari pelaku atau penciptanya, dan menekankan suatu tatanan yang mendisiplinkan manusia demi kehidupan sosial dengan cara mempersempit pandangan dan cakrawala kita. Namun, secara simplistik dia menegaskan bahwa moral merenggut kebebasan manusia. Dia tidak melihat adanya oposisi sederhana antara moralitas yang menghambat dengan lisensi lengkap atas tindakan. Moralitas, dalam arti tertentu telah menjadi alami, atau diperlukan oleh manusia, meskipun ia melanggar sifat dasar manusia atau insting dasar manusia. Tanpa moralitas, manusia pada umumnya, dan budaya Eropa pada khususnya, tidak mungkin akan terbentuk. Namun, kita tidak boleh mencampur adukan kebutuhan terhadap moralitas dengan tingkat kewajaran dari semua sistem moral karena dalam esensinya, semua penilaian moral pada akhirnya didasarkan pada ketidakpastian, irasionalitas, dan pelanggaran atas dorongan-dorongan alami dan biologis.

Kemudian beranjak pada tema berikutnya, yakni “Menuju sejarah alami moral”. Nietzsche menyatakan bahwa tidak ada epos pra-moral di mana tindakan dilakukan tanpa adanya hambatan internal, dia juga sering mengkontraskan keadaan kuasi-mitologis, yang secara samar berkaitan dengan keadaan Yunani pra-Sokrates, dengan moralitas yang dipelopori oleh tradisi Kristen-Yahudi. Orang-orang yahudi, katanya, menyebabkan munculnya pembalikan nilai ; mereka menegasikan suatu tatanan di mana kekayaan, kelebihan, kekejaman, dan seksualitas divalidasikan, dan digantikan dengan sistem nilai di mana kemiskinan, keilahian, kepatuhan, dan spiritualitas menjadi berkuasa. Institusi moralitas kawanan Kristen-Yahudi memungkinkan terbentuknya Eropa modern sekalipun itu berarti pemangkasan kemungkinan dan potensi manusia. Nietzsche menekankan adanya suatu anggapan bahwa adanya penguasa dan subyek, dan dia melihat bahwa moralitastbahkan kepatuhan adalah sesuatu yang diperlukan bagi khalayak. Namun, dia memberikan kecaman yang keras terhadap kemunafikan moral para pemimpin, yang menggambarkan diri mereka sebagai pelayan masyarakat, pelaksana konstitusi, atau pendukung kemakmuran bersama, yang pendeknya, sebagai suatu salah satu variasi kawanan, dan bukan sebagai individu-individu yang melaksanakan “kehendak untuk berkuasa”. Harapan Nietzsche adalah bahwa masa depan akan membawa revaluasi radikal atas moralitas kawanan ini dan akan mengajarkan manusia bahwa masa depan mereka adalah kehendak mereka, bahwa masa depan bergantung pada kehendak manusia, dan mereka akan mempersiapkan jalan bagi eksperimen beresiko tinggi dalam disiplinn dan perkembangan untuk mengakhiri kekuasaan omong kosong dan kebetulan yang mengerikan yang sampai sekarang disebut sebagai “sejarah”

Pada tema berikutnya, ”Kita kaum terdidik”, kita kan dibawa pada sebuah pembahasan mengenai perlunya kita membedakan antara seorang filsuf dengan orang yang berpendidikan (kaum terdidik). Kaum terdidik tidak memiliki kemuliaan baik dalam hal keturunan ataupun proses pemikiran ; seorang yang terdidik bukanlah seseorang yang hebat dan berkuasa, melainkan seseorang yang giat dengan sabar menaiki tangga jabatan secara perlahan, menyesuaikan dan menkan kemampuan mereka dan kebutuhan mereka. Nietzsche menggambarkan disini kaum terdidik sebagai pekerja intelektual yang tidak kreatif, rajin, dan terbatas, dan yang mengorbankan subyektivitas mereka demi tujuan-tujuan yang meragukan seperti “obyektivitas” dan “metode ilmiah”. Mereka adalah kawanan yang sama sekali bersebrangan dengan impian Nietzsche tentang para filsuf yang berani, berpikiran baru dan ramah, sebagai pemimpin spiritual dari sebuah epos baru. Ada juga pembahasan mengenai bagaimana sesungguhnya penampilan dari jiwa bebas itu. Nietzsche menyatakan, bahwa jiwa bebas, melaksanakan tugasnya di luar kebaikan dan kejahatan, bukan berpegang pada nilai-nilai moral konvensional tradisi Kristen.

Pada bagian ketujuh, dia secara tegas menunjukan dirinya anti-feminisme. Dia menyatakan bahwa seorang perempuan tidak akan dipilih dengan cara yang sama sebagaimana kaum lelaki, mengenai persoalan jiwa bebas. Dia mengkritik keras tentang apa yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk meperoleh persamaan hak dan kemandirian-diri. Dia mengarahkan reaksinya terhadap gerakan perempuan gelombang pertama yang terjadi di Jerman dan di seluruh Eropa. Nietzsche beranggapan bahwa kecenderungan menuju emansipasi perempuan sebagai sebuah penjelekan yang menyeluruh atas Eropa. Dia menggambarkan dengan jelas bahwa perempuan tidak perlu mencari pencerahan, bahwa ada bentuk antagonisme yang absolut dan sengit antara laki-laki dan perempuan, dan bahwa dukungan atas persamaan hak, persamaan pendidikan, persamaan ambisi dan kewajiban, merupakan suatu contoh tipikal dari kedangkalan. Para perempuan yang berusaha mencapai hal demikian dikatakan oleh Nietzsche sebagai penyimpangan dari sifat asli mereka. Sifat perempuan diidentifikasikan oleh Nietzsche sebagai sifat yang lemah lembut alami, seperti binatang pemangsa yang licik, dengan cakar harimau dibawah sarung bantal mereka, egoisme naif mereka, sifat liar dan tidak dapat didik dalam diri mereka, misteri, keluasan, dan jangkauan dari keinginan dan kebaikan-kebaikan mereka.

Berikutnya dalam “Manusia dan tanah air” adalah kelanjutan dari tema-tema pokok tentang peristiwa terkini, meskipun secara singkat ada yang menyinggung tentang peradaban kuno dan tokoh-tokoh terkemuka abad 19. Nietzsche memberikan sebuah pandangan tentang Perancis dan Inggris. Menurutnya, Inggris bukanlah ras filsuf. Tokoh-tokoh intelektual yang menonjol dari negara ini, seperti Darwin, J.S. Mill, Spencer, disebutnya sebagai orang yang patut dihormati, namun biasa-biasa saja. Sedangkan ia menggambarkan Perancis sebagai pusat budaya masyarakat Eropa yang paling spiritual dan maju dengan cita rasa yang tinggi. Namun, pada akhirnya ia malah lebih tertarik pada orang-orang Jerman. Orang Jerman menurutnya adalah ahli tentang jalur rahasia menuju kekacauan ; kesan keandalan yang diberikan pada negara ini dikaitkan dengan ketidakpastian, perubahan, dan ketiadaan bentuk. Meskipun ia meyakini bahwa ras Yahudi sebagai yang paling kuat, ulet dan murni, namun dia beranggapan bahwa ras ini bertanggung jawab atas moralitas budak beserta konsekuensi-konsekuensinya yang merusak. Dalam salah satu bagian dia menyatakan bahwa orang-orang yahudi dapat memperoleh hegemoni atas seluruh Eropa jika mereka menginginkannya, dan ini merupakan suatu pernyataan yang menggelikan pada tahun 1886 karena muncul pada masa pemerintahan Hitler, saat dipakai sebagai propaganda Nazi. Apa yang diimpikan Nietzsche adalah bukan enuju Eropa yang bersatu seperti yang kita alami pada akhir 1990’an, namun, sejalan dengan pandangan poltik dan sosial etis, memuat tentang kelahiran kasta baru yang akanberkuasa di Eropa. Orang Eropa yang baik dalam pemikiran Nietzsche akan muncul dari sentimen anti-nasionalis, tetapi ini tidak berarti akhir dari struktur sosial hierarkis.

Pada bagian terakhir, Nietzsche kembali pada persoalan yang secara implisit yang telah disinggung pada bagian-bagian sebelumnya, yakni “Apa itu mulia?”. Nietzche menjelaskan bahwa kemuliaan sejati menurutnya telah rusak dan tidak dapat dibedakan ‘saat kekuasaan kaum jelata dimulai, dibawah langit mendung yang menjadikan segala sesuatu tidak jelas dan kelam. Kekhawatirannya tentang hilangnya kemuliaan merupakan sisi lain dari kritiknya mengenai modernitas, yang mengarahkan pada peniadaan kreativitasndan perbedaan karena kecenderungan demokratisasi dan desakan persamaan hak.

Nietzsche menyatakan bahwa kehidupan itu sendiri ‘pada dasarnya melukai, penyesuaian, menguasai yang asing dan lemah; penindasan, kekerasan, pemaksaan, dan yang terakhir paling halus adalah eksploitasi’. Argumen yang dikemukakannya adalah bahwa kata-kata ini menimbulkan perasaan tidak suka dalam diri kita karena kita memang berpegang pada sebuah moralitas yang merendahkan nilai-nilai mulia, yang dianggap sebagai sesuatu yang lebih alami, lebih sejalan dengan dunia, lebih kreatif, dan lebih penting. Apabila kitamengartikan dukungan Nietzsche pada masalah ini dengan cara sederhana sebagai sebuah seruan untuk memperjuangkana kebebasan dan kreativitas yang lebih besar, untuk mengakhiri penindasan dan penyejajaran perbedaan individu, maka filsafat yang disuarakannya mungkin sejalan dengan pemikiran-pemikiran umum. Akan tetapi sisi gelap dari pemikiran Nietzsche tidak boleh kita abaikan; kadang dia menegaskan usaha untuk kembali pada tatanan aristokratik dimana kebahagiaan kaum mayoritas dikorbankan demi kepentingan kelompok elit yang akan menciptakan dan menikmati kebangkitan kembali budaya Eropa.