Selasa, 09 Maret 2010

Call For Paper Jurnal Kacamata Edisi II Februari 2010



Jurnal Kacamata mengajak kawan-kawan mahasiswa S1 dan D3 segala disiplin ilmu untuk menulis sebuah karya ilmiah dengan tema "Lingkungan". Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi website mereka.[OI]

Senin, 08 Maret 2010

KELUARGA BESAR BERNAMA INDONESIA

oleh : Brigitta Isabella*

Keluarga adalah bagian terkecil dari sebuah negara, di mana sesungguhnya pribadi seorang warga negara dibentuk melalui pola pendidikan dan budaya yang diajarkannya sejak kecil. Saya Sasaki Siraishi dalam bukunya yang berjudul, “Pahlawan-Pahlawan Belia”, melacak dan menganalisis konsep keluarga Indonesia yang ternyata tercemin dalam politik negara ini, terutama di era Orde Baru.
Keluarga Indonesia adalah sebuah konsep yang dipropagandakan dalam buku-buku pelajaran sekolah , sebuah gambaran keluarga yang ideal, biasanya mencakup Bapak, Ibu, dan sepasang anak perempuan dan laki-laki. Barangkali masih kita ingat bagaimana sejak kecil kita diajari untuk meniru Ibu Guru melafalkan “Ini Ibu Budi atau Ini Bapak Budi.” Gagasan nama Budi, yang artinya berbudi baik, adalah sebuah cerminan bagaimana sebuah bangsa mengkonstruksikan identitas luhurnya melalui produk sejarah pendidikan nasional hingga hari ini.

Keluarga dalam produksi sejarah nasional

Dalam penelitian yang dilakukan Kenji Tsuchiya, konsep kekeluargaan pertama kali muncul sejak 1920 yaitu dengan didirikannya gerakan pendidikan nasional Taman Siswa. Dalam deklarasinya, Taman Siswa berbicara tentang pentingnya kesatuan bangsa sebagai sebuah keluarga. Model kekeluargaan aau famili-isme ini pula yang akhirnya menjadi dasar sebuah organisasi Indonesia di masa depan. Dalam deklarasi ini Tjokrodirjo menekankan bahwa menyebarkan pendidikan adalah tanggung jawab Taman Siswa sebagai kakak terhadap adik-adiknya. Perhatikan bagaimana sebuah organisasi dilandasi rasa tanggung jawab seorang kakak terhadap adiknya. Dalam hal ini, kekeluargaan telah menjadi sebuah ideologi tertentu.

Beranjak jauh ke depan, di era Orde Baru semangat kekeluargaan atau famili-isme semakin terasa kental. Kita mungkin ingat bagaimana Pak Harto kala itu sering menyebut menteri-menteri atau ajudan-ajudannya sebagai anak-anaknya yang perlu dibimbing. Para menteri pun kala itu tidak menyebut Pak Harto dengan sebutan “Bapak presiden”, melainkan sekedar “Bapak”. Jika dalam bahasa Inggris kita dapat membedakan hirarki antara sebutan “father” dengan “Sir”, maka dalam bahasa Indonesia, makna “Bapak” dapat bermakna ganda sebagai sebuah jabatan pun sebagai panggilan kepada ayah.
Konsep “Bapak” dalam politik Orde Baru ternyata tidak sekedar bermakna sebagai sebuah panggilan akrab. Soeharto benar-benar menjadi bapak Orde Baru, seorang Bapak yang dicitrakan mampu mengayomi dan melindungi anak-anaknya. Begitupula sebaliknya, menteri-menteri di Orde Baru adalah anak yang patuh kepada Bapaknya, karena dibalik senyumnya, Soeharto adalah seorang Bapak yang penuh wibawa dan akan memberi “hukuman” pada anaknya yang “nakal”.

Mengapa para menteri dan segenap rakyat Indonesia bisa menjadi anak yang patuh kepada Bapaknya selama 35 tahun, barangkali semuanya dapat kita lihat pada simulasi pendidikan dasar di Indonesia. Siraishi mengamati bagaimana alur pendidikan di Indonesia adalah alur yang satu arah, guru bicara dan murid mendengarkan. Jika guru mengijinkan, murid baru boleh bicara. Murid biasanya jarang bertanya, apalagi bersikap kritis karena ia akan dianggap mengacaukan situasi di kelas dan wajib dihukum. Pola pendidikan seperti ini adalah sebuah simulasi politik di era Orde Baru. Sejak kecil masyarakat Indonesia telah ditanamkan sebuah pola hidup yang membebek mengikuti gurunya.

Tidak hanya dalam lembaga negara, pola kekeluargaan juga tercermin dalam kehidupan professional di sebuah perusahaan. Seorang bos acap kali dianggap sebagai Bapak bagi karyawan-karyawannya, sehinga ia harus maklum jika kemudian seorang diantaranya perlu meminjam uang untuk istrinya yang akan melahirkan, anaknya yang demam atau mertuanya yang masuk rumah sakit. Jika sang Bos menolak memberikan pinjaman, ia akan dianggap sebagai bapak yang tidak baik, tidak bertoleransi dan tidak memiliki rasa kekeluargaan. Maka sebagai timbal balik, sang Bos pun akhirnya meminta pemakluman dari karyawan-karyawannya jika ia perlu menggelapkan uang kantor untuk masuk kantongnya sendiri, karena sesungguhnya uang tersebut adalah “uang keluarga” yang nantinya dibutuhkan oleh para karyawan yang ingin kasbon. Begitulah, sebuah perusahaan pun akhirnya menjadi sebuah keluarga besar.

Pada titik inilah kiranya kita perlu mempertanyakan konsep kekeluargaan yang ternyata sangat abstrak dan kosong maknanya. Apakah yang sebetulnya dimaksud dengan kekeluargaan adalah contoh-contoh di atas? Jika ya, dan memang demikian adanya, ternyata konsep kekeluargaan yang selama ini diagung-agungkan, bersanding dengan kata gotong royong yang menjadi slogan keiindonesiaan, adalah akar dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela di Indonesia.

Perlawanan Anak kepada Bapak

Dalam konsep keluarga nasional Indonesia, seperti telah disebutkan di atas bahwa gambaran keluarga ideal adalah seorang Bapak dan Ibu dengan sepasang anak perempuan dan laki-laki. Dimanakah peran remaja dalam konsep keluarga nasional? Remaja dipinggirkan dalam konsep keluarga nasional. Remaja adalah sebuah kelompok usia yang dianggap ambivalen, nakal dan sibuk dengan dirinya sendiri. Kata “remaja” berbeda dengan Pemuda pada masa kemerdekaan. Di kurun usia yang sama, kata “Pemuda” memiliki sifat amelioratif, di mana pemuda dianggap sebagai anak muda terpelajar yang nasionalis revolusioner pada tahun 40-an sampai 60-an. Sementara remaja sejak era Orde Baru, digambarkan sebagai segerombolan anak muda gondrong yang tidak punya kerjaan, senang mendengar musik rock dan sering tawuran atau membuat keributan. Remaja pada era ini telah dijinakkan terhadap politik, buktinya hampir selama 35 tahun tidak ada perlawanan yang berarti dari kaum remaja yang dapat menurunkan Soeharto.

Tapi sejarah seringkali berulang. Perubahan politik di Indonesia ternyata selalu bermula dari perlawanan sang anak kepada bapaknya. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan dipaksa untuk memproklamasikan kemerdekaan sesegera mungkin. Jika tanpa jasa para pemuda dalam peristiwa rengasdengklok, mungkin kita harus berpuas dengan kemerdekaan yang “hanya” sebuah hadiah dari Jepang. Pergolakan para pemuda, atau barangkali remaja, kembali terulang pada tahun 1998. Para mahasiswa menduduki gedung MPR DPR dan berdemonstrasi mengumpulkan massa hingga akhirnya berhasil membuat Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Sebetulnya masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendetail seperti yang dilakukan Siraishi menyangkut bagaimana sebenarnya peran pergerakan politik mahasiswa pada era itu, bagaimana dan apa penyebab para remaja yang jinak secara politik itu mampu melawan dan menggulingkan “Bapak”nya dari kursi kekuasaan, yang sayangnya hanya berpindah pada figur Bapak lainnya. Dari sini mungkin kelak kita dapat pula mengira-ngira seperti apa pergerakan mahasiswa saat ini mengarah.

*Brigitta adalah seorang mahasiswi Fakultas Filsafat UGM angkatan 2007. Dia adalah seorang editor "Jurnal Kacamata" di Fakultas Filsafat.

Pelajaran Berharga dari Malingsia

Pentingnya mengembangkan sektor budaya adalah sebuah harga mati. Ketika sektor ekonomi lebih menjadi sebuah prioritas, maka dengan segera bangsa ini akan hancur karena kehilangan karakternya.

oleh : Beni Satryo*

Malaysia adalah sebuah negara yang maju. Mulai dari perekonomian, industri, pariwisata, dan beberapa sektor lain. Kemajuan yang sangat pesat itu membuat mereka lalai dan teledor untuk menjaga, mengembangkan, mempelajari dan menggali budaya asli mereka. Akibatnya, beberapa tahun terakhir mereka mengalami sebuah bencana, yakni krisis budaya. Krisis budaya itu berdampak langsung terhadap negara kita. Dapat dilihat dari gencarnya klaim-klaim sepihak terhadap kebudayaan milik suku-suku yang ada di Indonesia. Mulai dari tari Pendet, Batik, Wayang, sampai reog Ponorogo. Bukan hanya itu, mereka bahkan mengakui sebuah bunga berbau bangkai, yang ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles di dataran Sumatra.

Aksi Malaysia ini bisa saja kita maklumi. Mereka terlalu takut, bahwa mereka tidak tahu asal-usul mereka. Hal apa yang membentuk perwatakan mereka, dan yang paling penting kenapa mereka sampai berada pada suatu wilayah yang sama dengan persamaan-persamaan tertentu pula. Budaya apa yang mereka punya dan hingga akhirnya membentuk mereka sampai pada taraf seperti sekarang ini. Seharusnya pemerintahan sekarang harus mulai belajar dari apa yang dialami oleh negara tetangga kita yang satu itu, sebelum akhirnya negara kita hancur dan terpecah belah.

Malaysia berulah hanya pada berapa tahun terakhir ini. Pada jaman Soekarno dan Soeharto, mereka hanya sebuah bangsa yang tidak ada apa-apanya di mata bangsa Indonesia. Apabila mereka macam-macam, maka negara mereka hanya tinggal sejarah atau minimal menjadi bagian dari propinsi di Indonesia. Mari kita mengingat-ingat aksi Soekarno yang keluar dari PBB hanya karena Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap PBB. Hasrat Soekarno untuk “menghabisi” Malaysia sangat besar, sampai beliau mengadakan aksi militer pada tahun 1960an untuk menyerang Malaysia (yang dikenal oleh warga Malaysia sebagai “Pengepungan 68 Hari”), setelah akhirnya gagal karena adanya sebuah pemberontakan di dalam negeri. Mari sejenak kita mengingat pidato Soekarno, untuk mengganyang Malaysia itu. “Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu itu juga biasa. Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu. Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya. Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat. Yoo...ayoo... kita... Ganjang...Ganjang... Malajsia, Ganjang... Malajsia. Bulatkan tekad semangat kita badja peluru kita banjak, njawa kita banjak, bila perlu satoe-satoe!” (dikutip dari Wikipedia “konfrontasi Indonesia-Malaysia”)

Peristiwa tersebut sudah lebih dari 40 tahun berlalu. Semenjak kejadian tersebut, Indonesia tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di bumi Malaysia. Kedua negara tersebut mulai menata hidup masing-masing. Indonesia dibawah pemerintahan bapak Pembangunan Nasional mulai berbenah diri, seusai menggulingkan rezim Soekarno. Sektor pembangunan dipacu habis-habisan, Indonesia memasuki masa kejayaan atas pembangunan pada kurun waktu 1970-1990an. Malaysia pun demikian, menggalakkan sektor perekonomian dan membangun negaranya untuk menjadi negara yang makmur. Namun, pada akhir 90an, Indonesia mulai mengalami krisis multi-sektoral. Mungkin bukan hanya Indonesia, namun hampir seluruh dunia. Belum lagi masalah stabilitas politik yang memanas, hingga akhirnya terjadi penggulingan kekuasaan untuk kedua kalinya.

Pada jaman tersebut, Indonesia mulai kehilangan figur-figur yang memiliki karakter kuat. Pengganti Soekarno dan Soeharto hanya numpang lewat saja. B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai kepada SBY tidak memberikan hal baru yang signifikan. Soekarno “memberikan” Indonesia kemerdekaan, Soeharto membawa Indonesia pada era pembangunan, tapi presiden-presiden setelah mereka tidak memberikan apa-apa, selain klaim keberhasilan mengatasi konflik, meningkatkan stabilitas perekonomian, bla bla bla, yang sebenarnya itu hanyalah meneruskan apa yang telah diwariskan oleh presiden sebelumnya. Kesimpulannya, presiden Indonesia pasca Soekarno dan Soeharto tidak memiliki keberanian untuk berpikir maju, selain melanjutkan apa yang sudah ada.

Sementara Indonesia bergelut dengan masalah krisis dalam negerinya, Malaysia secara perlahan tapi pasti mulai menancapkan kukunya di Asia Tenggara. Kemajuan pesat perekonomian Malaysia jauh meninggalkan Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan milik Indonesia dibeli oleh Malaysia. Keberhasilan Malaysia ini telah dirintis sejak lama, setelah Indonesia tidak lagi “mengganggu” eksistensi mereka. Dan, ketika Indonesia dipusingkan oleh masalah dalam negeri, Malaysia mulai berulah lewat Sipadan Ligitan, kemudian berlanjut ke Teluk Ambalat. Tidak sampai disitu, klaim yang awalnya hanya seputar daerah teritorial saja, berlanjut pada masalah kebudayaan.

Malaysia seolah-olah sangat ngotot untuk memperoleh pengakuan internasional terhadap suatu budaya. Hal tersebut bisa dimaklumi, seperti pada penjelasan awal tadi, Malaysia sudah terlena untuk mengencangkan laju pertumbuhan ekonomi negaranya, dan mereka lupa untuk tahu asal-usul mereka. Sementara itu, SBY dengan program meningkatkan stabilitas perekonomian negara seolah adem ayem saja dengan ulah Malaysia itu. Baru-baru ini saja ketika batik sudah mendapatkan pengakuan dari internasional sebagai budaya asli Indonesia, beliau baru menaruh perhatian. Itupun tak lebih dari propaganda politik citra yang sangat lekat dengan beliau, a.k.a cari muke.

Bagaimanapun juga, kebudayaan dan perekonomian harus berjalan selaras. Ketika sektor perekonomian lebih menjadi prioritas daripada kebudayaan, maka yang terjadi adalah sebuah penghargaan untuk negara terkorup se-Asia Pasifik. Dan, tentu saja negara yang besar dan tangguh ini hanya akan tinggal sejarah, seperti halnya Malaysia. Lihat saja sebentar lagi, apabila Malaysia tak kunjung menemukan jati dirinya, negara tersebut akan hancur, minimal dijajah bangsa asing.

*Beni adalah seorang mahasiswa Fakultas Filsafat angkatan 2006. Saat ini dia sedang sibuk kuliah, guna memenuhi target SKS supaya bisa KKN dan mempersingkat masa studinya.

Rabu, 03 Maret 2010

Tere Disoraki Ketika Interupsi

Sidang paripurna yang diselenggarakan oleh DPR selama dua hari kemarin memang sangat menarik untuk disimak. Pada hari pertama (02/3) terjadi sebuah insiden, dimana Ketua DPR, Marzuki Alie, menutup sidang secara sepihak dan membuat emosi para anggota sidang lainnya. Selain itu, mic yang digunakan untuk interupsi sengaja dimatikan oleh sekjen DPR, Nining Indra Saleh. Diluar sidang, beberapa elemen mahasiswa dan LSM terlibat bentrok dengan aparat. Hari ini (03/3) terjadi sebuah kericuhan kecil dimana seorang penonton sidang paripurna DPR yang membahas Skandal Century ini tiba-tiba bersorak, ketika Tere seorang penyanyi yang kini menjadi politisi dari fraksi Demokrat menyampaikan interupsi. Interupsi yang dilontarkan Tere sama sekali terlepas dari substansi yakni menyinggung soal tata tertib yang mengatur para wartawan. Sehari sebelumnya, Roy Suryo yang juga berasal dari fraksi Demokrat hanya bisa mengeluarkan suara "ha hu ha hu" saja sesaat setelah beberapa anggota fraksi lainnya selesai menyampaikan interupsi.[OI]