Sabtu, 29 Mei 2010

Sekilas tentang Beyond Good and Evil


Beyond Good and Evil adalah karya Nietzsche yang diterbitkan pada tahun 1886. Karya ini pertama kali diterbitkan setelah buku fenomenal dan monumental Thus Spake Zarathustra, yang menggambarkan prinsip-prinsip utama filsafat Nietzsche dalam bentuk parabolis. Apabila dilihat sebagai suatu parodi Injil, keempat buku Zarathustra memberikan gambaran pada para pembaca tentang aktivitas dan pembicaraan-pembicaraan dari seorang tokoh imajiner, yang tentu saja merupakan juru bicara Nietzsche. Beyond Good and Evil memuat pokok permasalahan yang sama, tetapi dalam karya ini Nietzsche tidak menawarkan pada kita suatu narasi yang memerlukan interpretasi, hanya serangkaian aforisme. Aforisme adalah ungkapan yang tepat, ringkas, dan jelas yang mengandungi atau melahirkan suatu kebenaran umum.

Beyond Good and Evil diawali dengan “Tentang Prasangka Para Filsuf”, dimana Nietzsche memberikan sebuah kritik terhadap tradisi filsafat. Para filsuf, menurut Nietzsche hanyalah orang-orang yang menunjukan diri sebagai pencari kebenaran. Dalam realita, kebenaran yang mereka nyatakan memiliki keterkaitan dengan keberadaan mereka, dan juga dengan konstitusi fisiologis mereka. Para filsuf bukanlah individu-individu yang obyektif, mereka tidak terpisah dari permasalahan ; dan pengetahuan mereka bersumber dari kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, filsafat hanyalah menjadi semacam ringkasan dari pernyataan-pernyataan pribadi, tidak seperti bentuk pemikiran-pemikiran yang lebih ilmiah lainnya. Pada akhirnya, Nietzsche menyatakan bahwa gagasan-gagasan filosofis kita terkait dengan tata bahasa yang terpusat pada subyek yang tidak memungkinkan kita untuk memahami hubungan secara radikal berbeda dengan dunia. Karena alasan inilah, status dari pernyataan filsafat bukanlah sebagai kebenaran atau kepastian melainkan sebuah interpretasi kita terhadap dunia.

Pengungkapan Nietzsche atas prasangka para filsuf dalam bagian pertama buku ini diikuti dengan sebuah sketsa tentang para filsuf baru dengan pemikiran baru dimana pemikiran Nietzsche merupakan bagian pendahulunya. Namun, yang dia berikan pada kelompok filsuf masa depan ini adalah “jiwa bebas”, sebuah istilah yang banyak dia gunakan semenjak akhir tahun 1870’an.

Pada bagian kedua, ada sebuah kemungkinan untuk mendeteksi sejumlah karakteristik yang merupakan karakteristik penting dari “jiwa bebas”. Jenis filsuf ini menempati hierarki tertinggi dalam ranah sosial dan intelektual, menurut Nietzsche jenis ini adalah tipe manusia unggul. Pada beberapa aforisma ia memberikan penakanan pada jenis manusia yang lebih tinggi, manusia yang percaya dan memerlukan “hierarki” sementara disisi lain ia meremehkan demokrasi dan persamaan hak. Oleh karena alasan ini, Nietzsche memberikan sebuah peringatan bahwa “jiwa bebas” tidak sama dengan “pemikir bebas”. Tidak diragukan lagi, jiwa bebas muncul dari agama tradisional, yang selanjutnya menjadi tema utama pada bagian ketiga buku ini, yakni “Disposisi Religius”.

Pemikiran Nietzsche tentang agama berkembang sangat signifikan pada tahun 1870. Meskipun ia adalah anak seorang pastor, dia meninggalkan keyakinannya terhadap agama Kristen, karena dia merasa bahwa agama secara umum, khususnya Kristen, sangat bertanggung jawab atas melemahnya kondisi umat manusia di jaman modern. Dalam Human, All Too Human, agama dikarakteristikan sebagai usaha yang tidak alami untuk menginterpretasikan pengalaman kita. Dalam The Gay Science dalam sebuah aforisma dia sangat tegas dalam menyatakan kematian Tuhan. Dalam Beyond Good and Evil dia menyatakan bahwa ajaran Kristen merepresentasikan “bunuh diri nalar yang tidak pernah berhenti”. Nietzsche bukannya tidak menyadari keuntungan yang diberikan agama kepada paa manusia., meskipun keberadaannya merendahkan manusia. Agama membantu manusia dalam bertahanterhadap keberadaan yang mungkin sangat berat dan membantu kita dalam membentuk suatu tatanan sosial yang dipertahankan dan mengharuskan kita untuk saling mengasihi satu sama lain.

Kecaman terhadap agama, khususnya ajaran Kristen kemudian diikuti dengan sebuah bagian yang memuat beberapa epigram. Masing-masing terdiri dari satu atau dua kalimat ; berbeda dengan bagian lain, yakni tidak disertai penjelasan yang panjang lebar tentang suatu pemikiran. Tetapi, hanya sebuah inti atau ringkasan dari gagasan yang direfleksikan dalam bentuk yang oaling pokok dan tajam. Tema pada bagian ini adalah “Epigram dan Selingan”. Meskipun bagian ini secara filosofis kurang menarik, tetapi mampu menggambarkan kecerdasan dan pandangan-pandangan Nietzche dengan lebih baik dibandingkan bagian lain ke dalam masalah tentang hati dan jiwa. Dengan demikian, bagian ini dapat disebut sebgai selingan nyata, satu jeda yang bertujuan menghibur dan memperingan para pembaca sebelum dan sesudah refleksi-refleksi lain yang lebih berat dalam buku ini.

Beranjak pada bagian berikut, Nietzsche kembali pada tugas filsafat, dan pada gaya aforistiknya, dengan memfokuskan pada masalah-masabelumnya telah dibahas dalam tulisannya. Yang pertama adalah tentang sejarah moralitas. Dalam satu artian tertentu, Nietzsche, meskipun memberikan pertimbangan-pertimbangan yang ekstensif pada moralitas dan etika, bukanlah seorang filsuf moral karena dia tidak berusaha merilis risalah etika atau menyebarluaskan sistem etis. Dia lebih cenderung pada sejarawan atau genealogis etika ; tulisannya difokuskan pada asal-usull dan fungsi nilai moral dalam sejarah manusia. Nietzsche menyatakan bahwa moral, bukanlah sesuatu yang rasional, absolut dan alami. Dunia banyak mengenal sistem moral, dan masing-masing mengajukan klaim umum ; jadi semua sistem moral sifatnya khusus, dipergunakan untuk tujuan tertentu dari pelaku atau penciptanya, dan menekankan suatu tatanan yang mendisiplinkan manusia demi kehidupan sosial dengan cara mempersempit pandangan dan cakrawala kita. Namun, secara simplistik dia menegaskan bahwa moral merenggut kebebasan manusia. Dia tidak melihat adanya oposisi sederhana antara moralitas yang menghambat dengan lisensi lengkap atas tindakan. Moralitas, dalam arti tertentu telah menjadi alami, atau diperlukan oleh manusia, meskipun ia melanggar sifat dasar manusia atau insting dasar manusia. Tanpa moralitas, manusia pada umumnya, dan budaya Eropa pada khususnya, tidak mungkin akan terbentuk. Namun, kita tidak boleh mencampur adukan kebutuhan terhadap moralitas dengan tingkat kewajaran dari semua sistem moral karena dalam esensinya, semua penilaian moral pada akhirnya didasarkan pada ketidakpastian, irasionalitas, dan pelanggaran atas dorongan-dorongan alami dan biologis.

Kemudian beranjak pada tema berikutnya, yakni “Menuju sejarah alami moral”. Nietzsche menyatakan bahwa tidak ada epos pra-moral di mana tindakan dilakukan tanpa adanya hambatan internal, dia juga sering mengkontraskan keadaan kuasi-mitologis, yang secara samar berkaitan dengan keadaan Yunani pra-Sokrates, dengan moralitas yang dipelopori oleh tradisi Kristen-Yahudi. Orang-orang yahudi, katanya, menyebabkan munculnya pembalikan nilai ; mereka menegasikan suatu tatanan di mana kekayaan, kelebihan, kekejaman, dan seksualitas divalidasikan, dan digantikan dengan sistem nilai di mana kemiskinan, keilahian, kepatuhan, dan spiritualitas menjadi berkuasa. Institusi moralitas kawanan Kristen-Yahudi memungkinkan terbentuknya Eropa modern sekalipun itu berarti pemangkasan kemungkinan dan potensi manusia. Nietzsche menekankan adanya suatu anggapan bahwa adanya penguasa dan subyek, dan dia melihat bahwa moralitastbahkan kepatuhan adalah sesuatu yang diperlukan bagi khalayak. Namun, dia memberikan kecaman yang keras terhadap kemunafikan moral para pemimpin, yang menggambarkan diri mereka sebagai pelayan masyarakat, pelaksana konstitusi, atau pendukung kemakmuran bersama, yang pendeknya, sebagai suatu salah satu variasi kawanan, dan bukan sebagai individu-individu yang melaksanakan “kehendak untuk berkuasa”. Harapan Nietzsche adalah bahwa masa depan akan membawa revaluasi radikal atas moralitas kawanan ini dan akan mengajarkan manusia bahwa masa depan mereka adalah kehendak mereka, bahwa masa depan bergantung pada kehendak manusia, dan mereka akan mempersiapkan jalan bagi eksperimen beresiko tinggi dalam disiplinn dan perkembangan untuk mengakhiri kekuasaan omong kosong dan kebetulan yang mengerikan yang sampai sekarang disebut sebagai “sejarah”

Pada tema berikutnya, ”Kita kaum terdidik”, kita kan dibawa pada sebuah pembahasan mengenai perlunya kita membedakan antara seorang filsuf dengan orang yang berpendidikan (kaum terdidik). Kaum terdidik tidak memiliki kemuliaan baik dalam hal keturunan ataupun proses pemikiran ; seorang yang terdidik bukanlah seseorang yang hebat dan berkuasa, melainkan seseorang yang giat dengan sabar menaiki tangga jabatan secara perlahan, menyesuaikan dan menkan kemampuan mereka dan kebutuhan mereka. Nietzsche menggambarkan disini kaum terdidik sebagai pekerja intelektual yang tidak kreatif, rajin, dan terbatas, dan yang mengorbankan subyektivitas mereka demi tujuan-tujuan yang meragukan seperti “obyektivitas” dan “metode ilmiah”. Mereka adalah kawanan yang sama sekali bersebrangan dengan impian Nietzsche tentang para filsuf yang berani, berpikiran baru dan ramah, sebagai pemimpin spiritual dari sebuah epos baru. Ada juga pembahasan mengenai bagaimana sesungguhnya penampilan dari jiwa bebas itu. Nietzsche menyatakan, bahwa jiwa bebas, melaksanakan tugasnya di luar kebaikan dan kejahatan, bukan berpegang pada nilai-nilai moral konvensional tradisi Kristen.

Pada bagian ketujuh, dia secara tegas menunjukan dirinya anti-feminisme. Dia menyatakan bahwa seorang perempuan tidak akan dipilih dengan cara yang sama sebagaimana kaum lelaki, mengenai persoalan jiwa bebas. Dia mengkritik keras tentang apa yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk meperoleh persamaan hak dan kemandirian-diri. Dia mengarahkan reaksinya terhadap gerakan perempuan gelombang pertama yang terjadi di Jerman dan di seluruh Eropa. Nietzsche beranggapan bahwa kecenderungan menuju emansipasi perempuan sebagai sebuah penjelekan yang menyeluruh atas Eropa. Dia menggambarkan dengan jelas bahwa perempuan tidak perlu mencari pencerahan, bahwa ada bentuk antagonisme yang absolut dan sengit antara laki-laki dan perempuan, dan bahwa dukungan atas persamaan hak, persamaan pendidikan, persamaan ambisi dan kewajiban, merupakan suatu contoh tipikal dari kedangkalan. Para perempuan yang berusaha mencapai hal demikian dikatakan oleh Nietzsche sebagai penyimpangan dari sifat asli mereka. Sifat perempuan diidentifikasikan oleh Nietzsche sebagai sifat yang lemah lembut alami, seperti binatang pemangsa yang licik, dengan cakar harimau dibawah sarung bantal mereka, egoisme naif mereka, sifat liar dan tidak dapat didik dalam diri mereka, misteri, keluasan, dan jangkauan dari keinginan dan kebaikan-kebaikan mereka.

Berikutnya dalam “Manusia dan tanah air” adalah kelanjutan dari tema-tema pokok tentang peristiwa terkini, meskipun secara singkat ada yang menyinggung tentang peradaban kuno dan tokoh-tokoh terkemuka abad 19. Nietzsche memberikan sebuah pandangan tentang Perancis dan Inggris. Menurutnya, Inggris bukanlah ras filsuf. Tokoh-tokoh intelektual yang menonjol dari negara ini, seperti Darwin, J.S. Mill, Spencer, disebutnya sebagai orang yang patut dihormati, namun biasa-biasa saja. Sedangkan ia menggambarkan Perancis sebagai pusat budaya masyarakat Eropa yang paling spiritual dan maju dengan cita rasa yang tinggi. Namun, pada akhirnya ia malah lebih tertarik pada orang-orang Jerman. Orang Jerman menurutnya adalah ahli tentang jalur rahasia menuju kekacauan ; kesan keandalan yang diberikan pada negara ini dikaitkan dengan ketidakpastian, perubahan, dan ketiadaan bentuk. Meskipun ia meyakini bahwa ras Yahudi sebagai yang paling kuat, ulet dan murni, namun dia beranggapan bahwa ras ini bertanggung jawab atas moralitas budak beserta konsekuensi-konsekuensinya yang merusak. Dalam salah satu bagian dia menyatakan bahwa orang-orang yahudi dapat memperoleh hegemoni atas seluruh Eropa jika mereka menginginkannya, dan ini merupakan suatu pernyataan yang menggelikan pada tahun 1886 karena muncul pada masa pemerintahan Hitler, saat dipakai sebagai propaganda Nazi. Apa yang diimpikan Nietzsche adalah bukan enuju Eropa yang bersatu seperti yang kita alami pada akhir 1990’an, namun, sejalan dengan pandangan poltik dan sosial etis, memuat tentang kelahiran kasta baru yang akanberkuasa di Eropa. Orang Eropa yang baik dalam pemikiran Nietzsche akan muncul dari sentimen anti-nasionalis, tetapi ini tidak berarti akhir dari struktur sosial hierarkis.

Pada bagian terakhir, Nietzsche kembali pada persoalan yang secara implisit yang telah disinggung pada bagian-bagian sebelumnya, yakni “Apa itu mulia?”. Nietzche menjelaskan bahwa kemuliaan sejati menurutnya telah rusak dan tidak dapat dibedakan ‘saat kekuasaan kaum jelata dimulai, dibawah langit mendung yang menjadikan segala sesuatu tidak jelas dan kelam. Kekhawatirannya tentang hilangnya kemuliaan merupakan sisi lain dari kritiknya mengenai modernitas, yang mengarahkan pada peniadaan kreativitasndan perbedaan karena kecenderungan demokratisasi dan desakan persamaan hak.

Nietzsche menyatakan bahwa kehidupan itu sendiri ‘pada dasarnya melukai, penyesuaian, menguasai yang asing dan lemah; penindasan, kekerasan, pemaksaan, dan yang terakhir paling halus adalah eksploitasi’. Argumen yang dikemukakannya adalah bahwa kata-kata ini menimbulkan perasaan tidak suka dalam diri kita karena kita memang berpegang pada sebuah moralitas yang merendahkan nilai-nilai mulia, yang dianggap sebagai sesuatu yang lebih alami, lebih sejalan dengan dunia, lebih kreatif, dan lebih penting. Apabila kitamengartikan dukungan Nietzsche pada masalah ini dengan cara sederhana sebagai sebuah seruan untuk memperjuangkana kebebasan dan kreativitas yang lebih besar, untuk mengakhiri penindasan dan penyejajaran perbedaan individu, maka filsafat yang disuarakannya mungkin sejalan dengan pemikiran-pemikiran umum. Akan tetapi sisi gelap dari pemikiran Nietzsche tidak boleh kita abaikan; kadang dia menegaskan usaha untuk kembali pada tatanan aristokratik dimana kebahagiaan kaum mayoritas dikorbankan demi kepentingan kelompok elit yang akan menciptakan dan menikmati kebangkitan kembali budaya Eropa.

1 komentar:

  1. Terimakasih atas ringkasannya. Sangat mudah dipahami, juga mencakup sebagian besar isi bukunya. Jujur saat saya membaca versi Bahasa Inggrisnya, saya kesulitan. Apa anda punya saran untuk saya agar bisa lebih mudah memahami buku filsafat seperti BGE?

    BalasHapus