Selasa, 23 Februari 2010

Presiden Terpilih BEM-KM UGM Tak Kunjung Dilantik Karena IP-nya Rendah

Seperti yang dilansir oleh Balkon, Presiden BEM-KM UGM terpilih yang tidak pernah dikenal secara luas oleh seluruh mahasiswa UGM, Aza, tidak kunjung dilantik oleh Rektor UGM. Hal ini disebabkan oleh IP (Indeks Prestasi) yang bersangkutan tidak memenuhi syarat. Dengan IP 1,96 Aza tidak diakui sebagai Presiden BEM-KM terpilih, karena syarat minimal adalah 2,00. Indikator tersebut menunjukan bahwa Presiden BEM-KM terpilih mengesampingkan syarat akademis yang merupakan tugas utamanya.

Persoalan IPK tersebut dinilai oleh pihak Rektorat terlalu rendah sebagai seorang pemimpin organisasi mahasiswa. "Saat pemilihan berlangsung, IP dia hanya 1,96. Menurut peraturan yang berlaku, dengan nilai itu seharusnya dia sudah di-DO", ujar Direktur Kemahasiswaan UGM, Haryanto.

Akibat persoalan ini, pihak Rektorat menyarankan agar dilakukan pemilihan ulang. Namun, rekomendasi ini ditolak oleh pihak mahasiswa, karena proses pemilihan tidak semudah yang dibayangkan dan rekomendasi tersebut menyalahi demokrasi.

Untuk meluruskan berita yang kurang menyenangkan ini, Aza melakukan jumpa pers di sekretariat BEM-KM. Pada intinya, berita yang dimuat (bahkan sampai di Kompas) tidak sepenuhnya benar, dan pihak Rektorat meminta maaf atas kejadian ini dan segera meluruskan berita tersebut.[OI]

Century Gate : Bias Antara Permasalahan Hukum dan Politik

Saya datang ke kampus pukul 07:30 tadi pagi, dan ternyata Filsafat Komunikasi berlalu begitu cepat, jam 08:00 sudah rampung. Untuk mengisi waktu luang, saya beranjak ke kantin. Saya memesan segelas kopi dan menyahut arem-arem isi daging, setelah sebelumnya membakar rokok dengan mantapnya. Disana saya hanya duduk-duduk dan sesekali berbincang dengan kawan Ndomble, yang sedari tadi ada disana. Kemudian datanglah kawan Fardan, dan dia langsung menyapa dengan sebuah pertanyaan mengenai organisasi jurnalistik yang tengah saya bangunkan, PiJAR. Saya menjawab dengan sigap, bahwa PiJAR sudah mulai menanjak kariernya :) Tak lama berselang datanglah kawan Romawi dengan menenteng dua buah buku berbahasa asing, yang berbau Marxis.

Kami bertiga mengobrol dengan asyiknya, mulai dari pepesan kosong soal Krucil (dahulu bernama bebe17) sampai masalah buku Cikeas Menjawab. Tiba-tiba kawan Fardan bertanya menyoal kesimpulan akhir Pansus Century, karena ketika sedang menonton beritanya, televisi milik Fardan tiba-tiba rusak. Kemudian saya menjawab, bahwa sepengetahuan saya apapun hasil akhir dari Pansus Century, hanya akan dijadikan sebuah rekomendasi kepada RI 1. Namun, kawan Romawi menyanggah, bahwa hasil Pansus Century bisa dijadikan sebuah tindak lanjut dan tidak sebatas rekomendasi.

Dari situ pembicaraan mulai melebar, dan yang paling menarik adalah posisi kasus Century ini menjadi bias, antara kasus hukum atau kasus politik. Ketika sebuah kasus, katakanlah skandal Century ini, disidik atau diusut oleh anggota dewan, maka yang bermain adalah politik. Ketika beberapa fraksi di Pansus mengatakan bahwa kasus Century ini tidak berdampak sistemik, dan fraksi lain bersebrangan pendapat, maka yang terjadi di Pansus (yang saya lihat di Tv) dilakukan voting. Bagaimana bisa, kebenaran (fakta) dicapai dengan cara demikian, apabila fakta tersebut dianggap salah oleh sebagian besar fraksi di Pansus, berarti fakta tersebut tidak ada gunanya.

Beda soal apabila kasus Century ini dipegang oleh pihak yang berwajib. Kasus ini akan dibawa ke ranah hukum, karena pihak yang berwajib tentu akan bersikap netral dan memakai asas hukum berlaku bagi semua, dan tidak ada kepentingan sama sekali terhadap kasus ini. Pihak yang bertanggung jawab ya segera diadili, yang tidak ya tidak. Jadikan jelas mana yang benar dan mana yang salah.

Entah, pendapat tersebut bisa diterima apa tidak, yang jelas saya buru-buru meninggalkan obrolan tersebut dan nangkring di wc kampus, karena sedari pagi saya belum setoran. Lagipula, saya nggak perduli apakah SMI atau BY atau mungkin SBY bertanggung jawab terhadap kasus ini, yang paling penting buat saya adalah bagaimana saya membuat thread di Krucil dan banyak menghasilkan cendol, itu saja sudah cukup membuat saya bahagia.[OI]

Alur KRS Versi Terbaru Fakultas Filsafat

Fakultas Filsafat mulai semester tahun ini menerapkan alur KRS (Kartu Rencana Studi) yang baru. Pada semester lalu, mahasiswa bisa melakukan login ke portal akademik untuk mengentri data KRS, setelah membayar SPP ke bank Mandiri, kemudian KRS dicetak dan diserahkan kepada DPA (Dosen Pembimbing Akademik) untuk dibubuhi tanda tangan, baru kemudian memulai perkuliahan.

Untuk semester ini, alurnya lebih berbelit. Mahasiswa harus membayar SPP ke bank Mandiri, kemudian mengisi KRS manual sebanyak 2 lembar, setelah itu meminta tanda tangan DPA. Belum selesai sampai disitu, setelah KRS manual tersebut sudah dibubuhi tanda tangan DPA, mahasiswa harus menyerahkan 1 lembar KRS manual tersebut kepada pihak Akademik (syarat untuk memperoleh password baru), setelah itu baru mahasiswa bisa memasukan data KRS secara online dan KRS bisa dicetak dan mahasiswa bisa memulai perkuliahan.

Setelah dikonfirmasi, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian, Dr. Arqom Kuswanjono, penetapan alur KRS yang sedemikian rupa ini untuk mengoptimalkan fungsi dan kinerja para DPA, yang seyogyanya para mahasiswa ketika memasukan matakuliah ke dalam KRS, melakukan konsultasi dengan DPA masing-masing mengenai kemajuan akademisnya. Karena, kebanyakan mahasiswa tidak pernah berkonsultasi, bahkan tidak pernah bertemu dengan DPA-nya sendiri. [OI]

Fakultas Filsafat Mengadakan Lomba Esai SMA 2010


(click for larger view)

Seperti yang dilansir oleh situs resmi Fakultas Filsafat, Fakultas Filsafat mengadakan lomba esai untuk kalangan SMA dengan tema "Mengapa Kita Perlu Filsafat". Lomba ini, dilihat dari sasarannya, mengarah pada proses pengenalan filsafat sejak dini. Lomba ini berhadiah Rp. 1.000.000 untuk pemenang pertama, Rp. 750.000 untuk pemenang kedua, dan Rp. 500.000 untuk pemenang ketiga. Silahkan kunjungi website resmi Fakultas Filsafat untuk informasi lebih lanjut.[OI]


Fakultas Filsafat Akhirnya Meninjau Kembali Kebijakan Mengenai Sistem Pembayaran SPP

Setelah mendapat reaksi keras dari mahasiswa tentang persoalan sistem pembayaran SPP, akhirnya Fakultas Filsafat meninjau kembali kebijakan tersebut. Diawali dengan pertemuan pada tanggal 08 Februari 2010 lalu, mahasiswa kembali bergerak untuk mengadakan pertemuan lebih lanjut pada tanggal 15 Februari 2010 dengan pihak Dekanat. Apa yang menjadi tuntutan mahasiswa adalah mengembalikan sistem pembayaran SPP seperti sedia kala.



Pada pertemuan pertama, telah disepakati sebuah jalan tengah dengan menggunakan surat dispensasi mengenai penangguhan pembayaran BOP dengan rentang waktu yang ditentukan, dan tidak melalui birokrasi yang berbelit. Namun, kenyataannya mahasiswa masih sulit (repot) untuk mengurus surat dispensasi ini. Atas dasar kasus tersebut, mahasiswa kembali mengadakan pertemuan lebih awal dengan pihak Dekanat, walaupun pihak Dekanat sudah menjadwalkan akan bertemu dengan mahasiswa pada tanggal 17 Februari 2010.

Rengga, salah seorang mahasiswa Filsafat yang ikut hadir dalam pertemuan kedua tersebut, mengungkapkan bahwa mahasiswa Filsafat sangat keberatan terhadap sistem yang diterapkan ini, mereka harus membayar SPP dan BOP secara langsung, dimana sebelumnya pembayaran tersebut dilakukan secara terpisah dalam rentang waktu 3 bulan. Pihak Fakultas mempunyai sebuah argumen bahwa kebijakan ini untuk menutup kas Fakultas yang hampir kosong (selain instruksi langsung dari Rektor mengenai sentralisasi administrasi kampus) dan untuk meminimalisir oknum-oknum mahasiswa yang menunggak uang BOP hingga waktu yang cukup lama. Pihak Fakultas juga mengatakan, kebijakan ini sama sekali tidak bermaksud memberatkan mahasiswa, namun mereka juga mengakui bahwa sosialisasi terhadap kebijakan ini sangat kurang.[OI]

Fakultas Filsafat Kebanggaan Kami

Apa yang ada dibenak para pimpinan Fakultas Filsafat, ketika mereka "menjual" Fakultas ini kepada calon-calon mahasiswa dengan menggunakan semacam penelitian, yang menjabarkan mengenai pos-pos lapangan pekerjaan yang berhasil dikuasai oleh para alumni. Beberapa persen ada di pos Parlemen, PNS, Pegawai bank, Dosen, LSM, Militer, Jurnalis, dlsb. Bahkan pada acara reuni yang menghadirkan para alumni Filsafat, mereka sangat bangga dan sangat menjual para alumni yang berhasil menembus pasar tenaga kerja, khususnya Pegawai bank dan anggota parlemen. Kemana sosok Fulan yang selalu diceritakan oleh salah seorang oknum dosen yang pengangguran itu? Kemana ribuan alumni yang mungkin sekarang menjadi tukang becak atau bahkan menjadi gila? Tak pernah dibuka!

Bukankah Fakultas ini adalah bertujuan untuk mencetak para pemikir (yang berlandaskan Pancasila?) bukannya para pekerja yang hanya menjadi robot berdasi atau terjebak didalam sebuah sistem, entah itu perusahaan, pasar, bahkan negara. Bukankah Fakultas ini membentuk manusia-manusia yang otonom, krirtis, rasional, komprehensif, koeheren, bla..bla..bla.

Apabila saya ingin bekerja, tentu saya memilih jurusan yang sudah jelas keterkaitan bidang studinya dengan lapangan pekerjaan yang saya kehendaki. Misal, saya kepengin jadi dokter, tentu saja saya mengambil jurusan Kedokteran bukan Ekonomi atau Teknik Sipil. Begitupun Filsafat, kalau saya kepengin jadi Pegawai bank kenapa saya harus kuliah di Filsafat, atau kalau saya kepengen jadi PNS ngapain saya bergelut dengan MMF atau Logika I dan II. Fakultas Filsafat ya outputnya jadi pemikir, mikirin bagaimana bangsa ini supaya maju, bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa menunjang kemajuan sebuah peradaban, bagaimana ide-ide yang keluar bisa diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Bukan malah berpikir bagaimana caranya supaya dapat promosi dan mengenyangkan perut. Seharusnya para sarjana Filsafat sudah tidak memikirkan urusan perut karena (seharusnya) urusan perut sudah ditanggung negara. Urusan mahasiswa Filsafat ya berpikir dan berpikir, negara juga seharusnya menjamin kesejahteraan seorang filsuf, karena mereka dengan gagah berani bersedia menjadi "orang gila".

Menjadi sebuah keharusan, ketika Fakultas Filsafat menunjang segala kebutuhan mahasiswanya, melalui penyusunan kurikulum, sistematika perkuliahan, sampai pada teknis pelaksanaan perkuliahan. Saat ini, apa yang telah disusun oleh para pimpinan Fakultas memang sudah sangat menunjang, khususnya untuk menjadikan mahasiswanya menjadi mahasiswa yang siap kerja. Lantas apa yang salah? Pola pikir dari para pimpinan Fakultas sangat tidak realistis. Begitu gencarnya mereka melakukan sosialisasi mengenai seminar-seminar kewirausahaan, pelatihan-pelatihan, beberapa macam soft skill (MS Word, mungkin? ketik 10 jari? TOEFL-TOEIC, dll) dan mereka menekan ruang gerak mahasiswa dengan kebijakan presensinya, sehingga mereka melupakan apa yang paling terpenting untuk menunjang iklim kefilsafatan di kampus ini, yakni ruang-ruang diskusi. Kurikulum yang berlaku juga seharusnya tidak biasa-biasa saja, seperti lazimnya orang-orang Filsafat yang luar biasa.

Bukankah menjadi sebuah capaian luar biasa ketika suatu saat nanti, kita mampu menekan pemerintah untuk membuat sebuah departemen khusus Filsafat atau direktorat Filsuf, yang isinya pemikir dan para pemecah masalah, para pengambil kebijakan yang tentunya sangat bijaksana. Bagaimana untuk mencapai itu, tentu dimulai dari pembenahan elementer ditingkat penggodokannya (baca : kampusnya)

semoga semua bisa berbahagia :)