Jumat, 13 Agustus 2010

EVOLUSI PERAN MAHASISWA UGM: DARI INDONESIA UNTUK DUNIA

oleh : Moch Najib Yuliantoro

Pendahuluan

Begitu UGM memutuskan menjadi “universitas riset kelas dunia”, konsekuensi dari keputusan tersebut tentu tidak dapat dianggap sederhana, jika tidak ingin disebut inkonsisten. Salah satu konsekuensi yang penulis akan ulas dalam tulisan ini, terkait penegasan kembali peran mahasiswa UGM sebagai agen perubahan, bukan sekedar memenuhi kebutuhan pembangunan tingkat lokal-nasional, namun juga dituntut supaya bergerak menuju level internasional. Adanya pergeseran peran transformatif mahasiswa ini kemudian memunculkan pertanyaan penting: bagaimana agar aktualisasi peran tersebut tetap mengacu pada (dan tidak tercerabut dari) akar budaya di mana mahasiswa itu berada?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu terlebih dahulu dijelaskan tiga penelusuran terkait ide pokok penulisan ini. Pertama, menelusuri pergeseran makna peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Kedua, menelusuri relasi substantif kearifan lokal dan pembangunan berkelanjutan. Ketiga, dari pokok bahasan pertama dan kedua, akan berusaha dilakukan sintesis-reflektif yang dipandu oleh sebuah gagasan berupa revitalisasi (menghidupkan kembali) peran mahasiswa dalam pembangunan berkelanjutan, bukan saja pada tingkat nasional tetapi juga internasional, berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal.

Memaknai “Agen Perubahan”

Betapa begitu sering disebutkan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan (agent of change) bagi bangsanya. Sebutan itu tidak berlebihan, mengingat dalam sejarah pergantian dua rezim pemerintahan otoriter di negeri ini, selalu dipelopori oleh keterlibatan mahasiswa sebagai pemain utama. Tetapi jika melihat fakta disorientasi peran mahasiswa pada satu dekade belakangan, maka sebutan itu perlu dipertimbangkan kembali. Pertanyaan sederhana yang akan muncul segera: (1) apa yang mau diubah oleh mahasiswa? dan (2) pada konteks apa perubahan itu dilakukan?
Dalam banyak kajian, istilah “perubahan” selalu identik dengan “transformasi”. Artinya, setiap berlangsung suatu perubahan, maka ia akan selalu diikuti oleh proses transformasi. Merujuk pendapat Rahardjo, “transformasi” dewasa ini paling tidak mengandung tiga macam persepsi. Pertama, berkaitan dengan perubahan mendasar berskala besar dalam masyarakat dunia yang beralih dari tahap masyarakat agraris-tradisionalis ke tahap industri-modern dan kini masyarakat informasi. Kedua, berkaitan dengan perubahan sosial menurut aliran Marxis, dari sistem feodal ke sistem kapitalis lalu ke sistem sosialis. Ketiga, sebagai ide alternatif terhadap aliran developmentalisme, dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, dari ekonomi berbasis akumulasi modal menuju ekonomi berbasis pemberdayaan rakyat (dalam Mustafa: 2008).

Apabila disepakati bahwa konsep “perubahan” merujuk pada salah satu dari tiga persepsi tersebut, maka pertanyaan (1) dan (2) pelan-pelan mulai ditemukan titik terang jawabannya. Bahwa makna “perubahan” yang perlu digagas oleh mahasiswa saat ini harus mendorong terjadinya transformasi sosial dalam masyarakat. Bukan saja di ranah politik seperti selama ini terjadi, tetapi harus lebih substantif, yakni perubahan pada jantung kehidupan masyarakat, meliputi pembaharuan nilai-nilai dan norma-norma, pola perilaku dan interaksi, sistem organisasi dan lembaga kekuasaan, serta yang paling penting, menghapus mentalitas inferior yang selama ini bergelayut di alam bawah sadar masyarakat kita.

Karena perubahan pada titik-titik tersebut tidak dapat dilakukan seketika dan tiba-tiba, maka dibutuhkan pengetahuan baru, pandangan baru, sikap baru, dan nilai-nilai baru yang mampu mendialogkan konsep-konsep ideal yang dibangun di bangku perguruan tinggi dengan realitas sesungguhnya di jantung masyarakat. Perubahan itu harus berorientasi jangka panjang, bersifat (re)konstruktif dan bukan destruktif. Tepat di titik inilah letak pentingnya bagi mahasiswa supaya dalam setiap penelitiannya selalu didasarkan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan riil di sekitarnya, bukan sekedar memenuhi kepuasan intelektual belaka. Mahasiswa sebagai agen (pelaku) perubahan sudah tidak saatnya lagi duduk di menara gading perguruan tinggi dan teori, tetapi harus lebih membumi kepada realitas di mana kaki mereka berpijak.

Dengan melakukan rekonstruksi makna terhadap konsep “perubahan” tersebut, maka ide-ide pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan lokal, seperti penulis akan jelaskan nanti, menjadi relevan dilakukan. Artinya, untuk menjawab pertanyaan “apa yang mau diubah?” dan “pada konteks apa perubahan itu dilakukan?”, untuk saat ini tidak begitu strategis apabila dilakukan melalui aksi demonstrasi, turun ke jalan, koar-koar penuh heroik, yang pada praktiknya justru tidak menghasilkan apa-apa. Justru akan jauh lebih mengena apabila mahasiswa, bersama bidang ilmu pengetahuan yang dimiliki, terjun langsung tepat berada di jantung persoalan, menjadi problem solver dan melakukan aksi riil di tengah-tengah masyarakat. Dari situlah saripati kearifan lokal ke-Indonesia-an dapat ditemukan (dan dirumuskan), mengonstitusi dan bersinergi bersama program-program pembangunan jangka panjang yang sudah ditentukan.

Relasi Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lokal

Ide pembangunan (developmentalisme) muncul ke permukaan sebagai respon atas konsekuensi modernitas. Itulah sebabnya sering dikatakan bahwa ide pembangunan sesungguhnya adalah bentuk riil dari “modernisasi” (Mustafa: 2008). Ide pembangunan banyak ditemukan di sebagian besar negara-negara berkembang, negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ide pembangunan merupakan jargon penting selama pemerintahan Soeharto, sebagaimana dibuktikan oleh adanya program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) I sampai VI (1969-1999).

Seperti dikemukakan Subandy Ibrahim, program pembangunan Soeharto tidak sepi dari masalah. Sejak program itu digulirkan, ketimpangan sosial dan ekonomi berlangsung masif. Pemerataan dan keadilan tidak berjalan semestinya (Ibrahim: 2004). Persis merujuk pada persepsi ketiga pandangan Rahardjo di atas, program pembangunan Orde Baru telah membentuk struktur sosial tersentralisasi dan akumulasi modal terhenti pada kaum minoritas, yakni para konglongmerat yang dekat dengan penguasa. Berkisar pada koteks tersebut, Arief Budiman lalu mengritik program pembangunan. Menurut Budiman, paradigma pembangunan Orde Baru hanya bertumpu pada aspek produksi material, sama sekali tidak menyentuh aspek manusia sebagai pengambil inisiatif, sang ‘manusia pembangunan’ itu sendiri. Setali tiga uang dengan pendapat tersebut, Sudjatmoko dan Kuntowijoyo jauh-jauh hari telah mengemukakan bahwa ide pembangunan harus dikaitkan dengan gagasan tentang kebudayaan (dalam Ibrahim: 2004).

Bertolak dari pandangan terakhir itulah ide pengaitan pembangunan dan kearifan lokal pada saat ini relevan dibicarakan. Belajar dari masa lalu, upaya membangun adalah upaya membentuk budaya. Di sana ada proses transformasi sosial, di mana masyarakat, baik sebagai objek maupun subjek, terlibat langsung dalam proses pembentukannya. Karena itu, jika mengharap supaya pembangunan memiliki nilai-guna dan awet-berjangka panjang, maka ide pembangunan itu harus menjadi bagian dari, meminjam istilah filosof van Peursen, “strategi kebudayaan” (Peursen: 2000). Artinya, hakikat pembangunan, sebagaimana pula hakikat budaya, harus dipahami sebagai “proses” dan “menjadi”. Ia tidak mengenal kosakata “akhir”. Manusia, sebagai pelaku (agen), adalah subjek kreatif yang memiliki peran strategis dalam menentukan dan menciptakan kebudayaannya sendiri, baik untuk saat ini maupun masa mendatang.
Justru ketika pembangunan dipahami sebagai “proses” dan “menjadi”, itu artinya di sana ada “dialektika”. Sebuah proses akulturasi antara apa yang ada pada “kami” dan “mereka”, dan pada akhirnya berbuah menjadi “kita”. Tepat pada konteks inilah kearifan lokal dapat masuk menjadi subsistem penentu bagi pembangunan, segaris lurus dengan dapat masuknya pula prinsip-prinsip dari luar (modernitas, misalnya) menjadi subsistem bagi pembangunan, tentunya dengan catatan: sejauh proses dialektika itu berjalan fair dan setara. Dengan begitu, hasil dialektika antara “kami” (kearifan lokal) dan “mereka” (modernitas) berfaedah untuk mengerangkai orientasi pembangunan “kita” ke depan. Lalu muncul pertanyaan: apakah kearifan lokal bisa berdialektika dengan nilai-nilai asing itu? Menjawab pertanyaan ini, penulis katakan: bisa!

Barangkali karena apa yang disebut “kearifan lokal” itu sendiri berisi nilai-nilai ke-Indonesia-an yang bersifat universal, seperti telah dengan cerdas dirumuskan oleh pendiri negara ini dalam bentuk Pancasila, maka pada kondisi dan rentang waktu kapanpun, nilai-nilai tersebut tetap relevan digunakan, sebagai bagian yang integral dari “proses” pembangunan.

Setelah melihat relevansi pengaitan antara pembangunan berkelanjutan dengan kearifan lokal di atas, lantas di mana mahasiswa mesti berperan? Tanpa perlu mengurangi sedikitpun nilai-nilai lokalitas kita sebagai manusia Indonesia, mahasiswa tetap bisa melakukan tugasnya sebagai agen perubahan dalam masyarakatnya. Justru setelah melalui pemaknaan ulang terhadap takrif “perubahan” sebagaimana telah dilakukan pada pokok bahasan pertama, penulis melihat peran tersebut kini mengalami pergeseran. Bukan secara revolusi tiba-tiba, melainkan secara evolusi bertahap, peran mahasiswa saat ini bergeser dari yang tadinya hanya berkutat pada problematika di level lokal-nasional, kini pelan-pelan bergerak menuju problematika di level internasional.

Mahasiswa, sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari warga dunia yang karenanya, antara kesadaran menjadi ‘manusia Indonesia’ dan ‘manusia dunia’ pada hakikatnya harus saling mengandaikan dan bersifat interdependensi. Proyeksi pemikiran dan gerakan transformatif mahasiswa pun akhirnya boleh dikatakan ‘melampaui’ Indonesia. Untuk menunjukkan keakuratan argumentasi tersebut, penulis akan meng(k)ajinya dari realitas konkret di mana penulis kini berada, yakni kampus tercinta, Universitas Gadjah Mada.

Evolusi Peran: dari Indonesia untuk Dunia

Ada sedikitnya dua faktor penyebab mengapa pergeseran evolusif itu berlangsung. Pertama, dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa arus globalisasi. Hal ini dibuktikan semenjak ditemukannya teknologi informasi yang mana derasnya rembesan informasi yang ditimbulkannya, telah menggeser karakter masyarakat kita dari masyarakat agraris-tradisional ke industri-modern dan kini masyarakat informasi. Fakta ini persis seperti pandangan Rahardjo di atas. Artinya, akibat globalisasi informasi yang tak terkendali, bagaimanapun telah mendorong terjadinya transformasi sosial dalam skala global di mana pengaruhnya juga mempengaruhi transformasi sosial dalam skala nasional.

Untuk menyebut contoh, sebuah laga Piala Dunia yang saat ini tengah berlangsung di Afrika Selatan, berkat bantuan teknologi informasi, dapat dengan mudah kita nikmati di televisi nasional. Kita tak perlu berletih-letih antri mendapatkan karcis, mendatangi lokasi pertandingan, apalagi menghabiskan uang berjuta-juta untuk biaya transportasi. Cukup hidupkan televisi, sembari menyeruput kopi, hasil pertandingan Argentina vs Jerman bisa kita ketahui saat itu juga. Berkat teknologi informasi pula, video porno Nazril Ilham dan Mbak Luna Maya dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak dibawah usia dewasa. Begitu menakjubkan, bukan? Betapa implikasi globalisasi informasi telah mengarahkan kita pada situasi yang tak terduga, begitu cepat, dan nyaris membuat dunia yang kita huni ini tampak begitu sempit. Tentu globalisasi informasi yang penulis paparkan di sini hanyalah satu dari banyak contoh. Di luar itu, datang begitu banyak isu-isu penting yang pada intinya: mendorong kita supaya bergerak ke arah pandangan-pandangan baru yang bersifat mendunia.

Sebagai respon atas pengaruh globalisasi di atas mau tak mau reformulasi dari dalam diri kita tentu perlu dilakukan. Sebab, seperti dikatakan Sudjatmoko, masa depan kita sebagai negara akan banyak dipengaruhi oleh perhitungan-perhitungan dan kemampuan-kemampuan yang dikembangkan oleh negara-negara di luar Indonesia (Soedjatmoko, 1995). Artinya, dengan kondisi dunia luar yang tengah bertransformasi ke arah kemajuan-kemajuan baru, kita secara tak langsung dipaksa agar juga melakukan adaptasi baru. Inilah sebab persisnya mengapa cendekiawan Kuntowijoyo menganjurkan agar melakukan “inner revolution”, sebuah perubahan mentalitas dan sensibilitas yang radikal setiap berhadap-hadapan dengan jaman yang asing dari asal-usul kita (dalam Ibrahim: 2004). Persis seperti sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebutnya sebagai “inner perspective”, dengan kandungan maksud yang kurang lebih sama dengan Kuntowijoyo (Kartodirdjo: 1990). Berkisar pada konteks inilah penulis menyebutnya sebagai faktor internal. Yaitu, sebuah pergeseran evolusif dari dalam diri kita, menuju penyesuaian-penyesuaian baru, entah sebagai reaksi atau proteksi, terhadap arus globalisasi (faktor eksternal). Terletak pada latar dua faktor itu, sebuah transformasi pun akhirnya berlangsung. Bermuara dari dua faktor itu pula, UGM tak ketinggalan memberi respon melalui perubahan radikal pada, mengutip Sartono, “inner perspective”-nya.

Merujuk diktat “Rencana Strategis Universitas Gadjah Mada Tahun 2008-2012”, UGM memberi penegasan khusus pada visinya, “menjadi universitas riset kelas dunia”. Tetapi, visi itu tidak berdiri sendiri. Terdapat catatan penting yang harus dipegang teguh, “dijiwai Pancasila (UGM) mengabdi kepada kepentingan dan kemakmuran bangsa”. Artinya, poin penting dari visi itu adalah sebuah kesadaran internal UGM bagaimana bisa berkonstribusi dalam skala lebih luas (internasional) namun tetap mengakar pada sosio-budaya bangsanya (Pancasila). Dalam hemat penulis, cita-cita ini sesungguhnya tidak terlalu utopis dan lebih bersifat preventif. UGM sebagai lembaga ilmiah sadar betul bahwa dalam kurun waktu mendatang, satu hingga tiga generasi ke depan, Indonesia mengalami situasi jaman yang sangat berbeda dengan sekarang. Penegasan visi itu, terlepas dari praktik dan kritik yang ada, merupakan persiapan jangka panjang bagi generasi kita agar tidak kejang-budaya (shock culture) saat menghadapi situasi yang berbeda kelak. Serta, yang terpenting, visi itu sesungguhnya adalah sebuah tantangan bagi mahasiswa seberapa besar keberanian mereka melakukan transaksi gagasan (ilmiah) dalam skala internasional dan seberapa tangguh mentalitas mereka tidak terjajah secara akademik.

Dengan berlangsungnya tranformasi perspektif tersebut, maka mahasiswa pun dituntut melakukan adaptasi baru pula. Melihat pilihan-pilihan masa depan yang beranekarupa, mahasiswa harus mampu memetakan proyeksi realitas masa depan bangsanya, dan dari situ, mahasiswa harus berani menjemput dan mengambil peluangnya, hendak jadi apa, peran apa, dan pada konteks apa mereka memberi konstribusi bagi pembangunan bangsanya. Hal ini mengandaikan agar mahasiswa secara proaktif (bukan reaktif) mulai berpikir futuristik, membentuk semacam “arus baru” bagi generasinya, menerobos, yang mengakar kuat pada cita-cita bangsanya namun juga bermartabat dalam interaksi internasional.

Alhasil, dengan melihat kondisi-kondisi ini, kita lalu dapat memahami adanya satu tahapan penting dalam usaha revitalisasi mahasiswa. Yaitu, sebuah evolusi peran dari agen perubahan bagi Indonesia menjadi pemandu perubahan bagi dunia.***

Daftar Pustaka:

Ibrahim, Subandy, Idi, 2004, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta
Kartodirdjo, Sartono, 1990, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah: Kumpulan Karangan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Mustafa, Achsan, Ali, 2008, Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarh, Teori dan Praksis Pedagang Kaki Lima, Inspire Indonesia, Malang
Peursen, CA van, 1988, Strategi Kebudayaan, edisi 19, (diterjemahkan oleh Dick Hartoko), Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Soedjatmoko, 1995, Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan, edisi 4, LP3ES, Jakarta
Rencana Strategis Universitas Gadjah Mada Tahun 2008-2012, disahkan oleh Majelis Wali Amanat UHM dengan Surat Keputusan No. 29/SK/MWA/2007 pada tanggal 15 Desember 2007

Catatan:
Naskah pernah diikutkan Annual Essay Competition 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar