Senin, 08 Maret 2010

Pelajaran Berharga dari Malingsia

Pentingnya mengembangkan sektor budaya adalah sebuah harga mati. Ketika sektor ekonomi lebih menjadi sebuah prioritas, maka dengan segera bangsa ini akan hancur karena kehilangan karakternya.

oleh : Beni Satryo*

Malaysia adalah sebuah negara yang maju. Mulai dari perekonomian, industri, pariwisata, dan beberapa sektor lain. Kemajuan yang sangat pesat itu membuat mereka lalai dan teledor untuk menjaga, mengembangkan, mempelajari dan menggali budaya asli mereka. Akibatnya, beberapa tahun terakhir mereka mengalami sebuah bencana, yakni krisis budaya. Krisis budaya itu berdampak langsung terhadap negara kita. Dapat dilihat dari gencarnya klaim-klaim sepihak terhadap kebudayaan milik suku-suku yang ada di Indonesia. Mulai dari tari Pendet, Batik, Wayang, sampai reog Ponorogo. Bukan hanya itu, mereka bahkan mengakui sebuah bunga berbau bangkai, yang ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles di dataran Sumatra.

Aksi Malaysia ini bisa saja kita maklumi. Mereka terlalu takut, bahwa mereka tidak tahu asal-usul mereka. Hal apa yang membentuk perwatakan mereka, dan yang paling penting kenapa mereka sampai berada pada suatu wilayah yang sama dengan persamaan-persamaan tertentu pula. Budaya apa yang mereka punya dan hingga akhirnya membentuk mereka sampai pada taraf seperti sekarang ini. Seharusnya pemerintahan sekarang harus mulai belajar dari apa yang dialami oleh negara tetangga kita yang satu itu, sebelum akhirnya negara kita hancur dan terpecah belah.

Malaysia berulah hanya pada berapa tahun terakhir ini. Pada jaman Soekarno dan Soeharto, mereka hanya sebuah bangsa yang tidak ada apa-apanya di mata bangsa Indonesia. Apabila mereka macam-macam, maka negara mereka hanya tinggal sejarah atau minimal menjadi bagian dari propinsi di Indonesia. Mari kita mengingat-ingat aksi Soekarno yang keluar dari PBB hanya karena Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap PBB. Hasrat Soekarno untuk “menghabisi” Malaysia sangat besar, sampai beliau mengadakan aksi militer pada tahun 1960an untuk menyerang Malaysia (yang dikenal oleh warga Malaysia sebagai “Pengepungan 68 Hari”), setelah akhirnya gagal karena adanya sebuah pemberontakan di dalam negeri. Mari sejenak kita mengingat pidato Soekarno, untuk mengganyang Malaysia itu. “Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu itu juga biasa. Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu. Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya. Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat. Yoo...ayoo... kita... Ganjang...Ganjang... Malajsia, Ganjang... Malajsia. Bulatkan tekad semangat kita badja peluru kita banjak, njawa kita banjak, bila perlu satoe-satoe!” (dikutip dari Wikipedia “konfrontasi Indonesia-Malaysia”)

Peristiwa tersebut sudah lebih dari 40 tahun berlalu. Semenjak kejadian tersebut, Indonesia tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di bumi Malaysia. Kedua negara tersebut mulai menata hidup masing-masing. Indonesia dibawah pemerintahan bapak Pembangunan Nasional mulai berbenah diri, seusai menggulingkan rezim Soekarno. Sektor pembangunan dipacu habis-habisan, Indonesia memasuki masa kejayaan atas pembangunan pada kurun waktu 1970-1990an. Malaysia pun demikian, menggalakkan sektor perekonomian dan membangun negaranya untuk menjadi negara yang makmur. Namun, pada akhir 90an, Indonesia mulai mengalami krisis multi-sektoral. Mungkin bukan hanya Indonesia, namun hampir seluruh dunia. Belum lagi masalah stabilitas politik yang memanas, hingga akhirnya terjadi penggulingan kekuasaan untuk kedua kalinya.

Pada jaman tersebut, Indonesia mulai kehilangan figur-figur yang memiliki karakter kuat. Pengganti Soekarno dan Soeharto hanya numpang lewat saja. B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai kepada SBY tidak memberikan hal baru yang signifikan. Soekarno “memberikan” Indonesia kemerdekaan, Soeharto membawa Indonesia pada era pembangunan, tapi presiden-presiden setelah mereka tidak memberikan apa-apa, selain klaim keberhasilan mengatasi konflik, meningkatkan stabilitas perekonomian, bla bla bla, yang sebenarnya itu hanyalah meneruskan apa yang telah diwariskan oleh presiden sebelumnya. Kesimpulannya, presiden Indonesia pasca Soekarno dan Soeharto tidak memiliki keberanian untuk berpikir maju, selain melanjutkan apa yang sudah ada.

Sementara Indonesia bergelut dengan masalah krisis dalam negerinya, Malaysia secara perlahan tapi pasti mulai menancapkan kukunya di Asia Tenggara. Kemajuan pesat perekonomian Malaysia jauh meninggalkan Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan milik Indonesia dibeli oleh Malaysia. Keberhasilan Malaysia ini telah dirintis sejak lama, setelah Indonesia tidak lagi “mengganggu” eksistensi mereka. Dan, ketika Indonesia dipusingkan oleh masalah dalam negeri, Malaysia mulai berulah lewat Sipadan Ligitan, kemudian berlanjut ke Teluk Ambalat. Tidak sampai disitu, klaim yang awalnya hanya seputar daerah teritorial saja, berlanjut pada masalah kebudayaan.

Malaysia seolah-olah sangat ngotot untuk memperoleh pengakuan internasional terhadap suatu budaya. Hal tersebut bisa dimaklumi, seperti pada penjelasan awal tadi, Malaysia sudah terlena untuk mengencangkan laju pertumbuhan ekonomi negaranya, dan mereka lupa untuk tahu asal-usul mereka. Sementara itu, SBY dengan program meningkatkan stabilitas perekonomian negara seolah adem ayem saja dengan ulah Malaysia itu. Baru-baru ini saja ketika batik sudah mendapatkan pengakuan dari internasional sebagai budaya asli Indonesia, beliau baru menaruh perhatian. Itupun tak lebih dari propaganda politik citra yang sangat lekat dengan beliau, a.k.a cari muke.

Bagaimanapun juga, kebudayaan dan perekonomian harus berjalan selaras. Ketika sektor perekonomian lebih menjadi prioritas daripada kebudayaan, maka yang terjadi adalah sebuah penghargaan untuk negara terkorup se-Asia Pasifik. Dan, tentu saja negara yang besar dan tangguh ini hanya akan tinggal sejarah, seperti halnya Malaysia. Lihat saja sebentar lagi, apabila Malaysia tak kunjung menemukan jati dirinya, negara tersebut akan hancur, minimal dijajah bangsa asing.

*Beni adalah seorang mahasiswa Fakultas Filsafat angkatan 2006. Saat ini dia sedang sibuk kuliah, guna memenuhi target SKS supaya bisa KKN dan mempersingkat masa studinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar