Senin, 08 Maret 2010

KELUARGA BESAR BERNAMA INDONESIA

oleh : Brigitta Isabella*

Keluarga adalah bagian terkecil dari sebuah negara, di mana sesungguhnya pribadi seorang warga negara dibentuk melalui pola pendidikan dan budaya yang diajarkannya sejak kecil. Saya Sasaki Siraishi dalam bukunya yang berjudul, “Pahlawan-Pahlawan Belia”, melacak dan menganalisis konsep keluarga Indonesia yang ternyata tercemin dalam politik negara ini, terutama di era Orde Baru.
Keluarga Indonesia adalah sebuah konsep yang dipropagandakan dalam buku-buku pelajaran sekolah , sebuah gambaran keluarga yang ideal, biasanya mencakup Bapak, Ibu, dan sepasang anak perempuan dan laki-laki. Barangkali masih kita ingat bagaimana sejak kecil kita diajari untuk meniru Ibu Guru melafalkan “Ini Ibu Budi atau Ini Bapak Budi.” Gagasan nama Budi, yang artinya berbudi baik, adalah sebuah cerminan bagaimana sebuah bangsa mengkonstruksikan identitas luhurnya melalui produk sejarah pendidikan nasional hingga hari ini.

Keluarga dalam produksi sejarah nasional

Dalam penelitian yang dilakukan Kenji Tsuchiya, konsep kekeluargaan pertama kali muncul sejak 1920 yaitu dengan didirikannya gerakan pendidikan nasional Taman Siswa. Dalam deklarasinya, Taman Siswa berbicara tentang pentingnya kesatuan bangsa sebagai sebuah keluarga. Model kekeluargaan aau famili-isme ini pula yang akhirnya menjadi dasar sebuah organisasi Indonesia di masa depan. Dalam deklarasi ini Tjokrodirjo menekankan bahwa menyebarkan pendidikan adalah tanggung jawab Taman Siswa sebagai kakak terhadap adik-adiknya. Perhatikan bagaimana sebuah organisasi dilandasi rasa tanggung jawab seorang kakak terhadap adiknya. Dalam hal ini, kekeluargaan telah menjadi sebuah ideologi tertentu.

Beranjak jauh ke depan, di era Orde Baru semangat kekeluargaan atau famili-isme semakin terasa kental. Kita mungkin ingat bagaimana Pak Harto kala itu sering menyebut menteri-menteri atau ajudan-ajudannya sebagai anak-anaknya yang perlu dibimbing. Para menteri pun kala itu tidak menyebut Pak Harto dengan sebutan “Bapak presiden”, melainkan sekedar “Bapak”. Jika dalam bahasa Inggris kita dapat membedakan hirarki antara sebutan “father” dengan “Sir”, maka dalam bahasa Indonesia, makna “Bapak” dapat bermakna ganda sebagai sebuah jabatan pun sebagai panggilan kepada ayah.
Konsep “Bapak” dalam politik Orde Baru ternyata tidak sekedar bermakna sebagai sebuah panggilan akrab. Soeharto benar-benar menjadi bapak Orde Baru, seorang Bapak yang dicitrakan mampu mengayomi dan melindungi anak-anaknya. Begitupula sebaliknya, menteri-menteri di Orde Baru adalah anak yang patuh kepada Bapaknya, karena dibalik senyumnya, Soeharto adalah seorang Bapak yang penuh wibawa dan akan memberi “hukuman” pada anaknya yang “nakal”.

Mengapa para menteri dan segenap rakyat Indonesia bisa menjadi anak yang patuh kepada Bapaknya selama 35 tahun, barangkali semuanya dapat kita lihat pada simulasi pendidikan dasar di Indonesia. Siraishi mengamati bagaimana alur pendidikan di Indonesia adalah alur yang satu arah, guru bicara dan murid mendengarkan. Jika guru mengijinkan, murid baru boleh bicara. Murid biasanya jarang bertanya, apalagi bersikap kritis karena ia akan dianggap mengacaukan situasi di kelas dan wajib dihukum. Pola pendidikan seperti ini adalah sebuah simulasi politik di era Orde Baru. Sejak kecil masyarakat Indonesia telah ditanamkan sebuah pola hidup yang membebek mengikuti gurunya.

Tidak hanya dalam lembaga negara, pola kekeluargaan juga tercermin dalam kehidupan professional di sebuah perusahaan. Seorang bos acap kali dianggap sebagai Bapak bagi karyawan-karyawannya, sehinga ia harus maklum jika kemudian seorang diantaranya perlu meminjam uang untuk istrinya yang akan melahirkan, anaknya yang demam atau mertuanya yang masuk rumah sakit. Jika sang Bos menolak memberikan pinjaman, ia akan dianggap sebagai bapak yang tidak baik, tidak bertoleransi dan tidak memiliki rasa kekeluargaan. Maka sebagai timbal balik, sang Bos pun akhirnya meminta pemakluman dari karyawan-karyawannya jika ia perlu menggelapkan uang kantor untuk masuk kantongnya sendiri, karena sesungguhnya uang tersebut adalah “uang keluarga” yang nantinya dibutuhkan oleh para karyawan yang ingin kasbon. Begitulah, sebuah perusahaan pun akhirnya menjadi sebuah keluarga besar.

Pada titik inilah kiranya kita perlu mempertanyakan konsep kekeluargaan yang ternyata sangat abstrak dan kosong maknanya. Apakah yang sebetulnya dimaksud dengan kekeluargaan adalah contoh-contoh di atas? Jika ya, dan memang demikian adanya, ternyata konsep kekeluargaan yang selama ini diagung-agungkan, bersanding dengan kata gotong royong yang menjadi slogan keiindonesiaan, adalah akar dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela di Indonesia.

Perlawanan Anak kepada Bapak

Dalam konsep keluarga nasional Indonesia, seperti telah disebutkan di atas bahwa gambaran keluarga ideal adalah seorang Bapak dan Ibu dengan sepasang anak perempuan dan laki-laki. Dimanakah peran remaja dalam konsep keluarga nasional? Remaja dipinggirkan dalam konsep keluarga nasional. Remaja adalah sebuah kelompok usia yang dianggap ambivalen, nakal dan sibuk dengan dirinya sendiri. Kata “remaja” berbeda dengan Pemuda pada masa kemerdekaan. Di kurun usia yang sama, kata “Pemuda” memiliki sifat amelioratif, di mana pemuda dianggap sebagai anak muda terpelajar yang nasionalis revolusioner pada tahun 40-an sampai 60-an. Sementara remaja sejak era Orde Baru, digambarkan sebagai segerombolan anak muda gondrong yang tidak punya kerjaan, senang mendengar musik rock dan sering tawuran atau membuat keributan. Remaja pada era ini telah dijinakkan terhadap politik, buktinya hampir selama 35 tahun tidak ada perlawanan yang berarti dari kaum remaja yang dapat menurunkan Soeharto.

Tapi sejarah seringkali berulang. Perubahan politik di Indonesia ternyata selalu bermula dari perlawanan sang anak kepada bapaknya. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan dipaksa untuk memproklamasikan kemerdekaan sesegera mungkin. Jika tanpa jasa para pemuda dalam peristiwa rengasdengklok, mungkin kita harus berpuas dengan kemerdekaan yang “hanya” sebuah hadiah dari Jepang. Pergolakan para pemuda, atau barangkali remaja, kembali terulang pada tahun 1998. Para mahasiswa menduduki gedung MPR DPR dan berdemonstrasi mengumpulkan massa hingga akhirnya berhasil membuat Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Sebetulnya masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendetail seperti yang dilakukan Siraishi menyangkut bagaimana sebenarnya peran pergerakan politik mahasiswa pada era itu, bagaimana dan apa penyebab para remaja yang jinak secara politik itu mampu melawan dan menggulingkan “Bapak”nya dari kursi kekuasaan, yang sayangnya hanya berpindah pada figur Bapak lainnya. Dari sini mungkin kelak kita dapat pula mengira-ngira seperti apa pergerakan mahasiswa saat ini mengarah.

*Brigitta adalah seorang mahasiswi Fakultas Filsafat UGM angkatan 2007. Dia adalah seorang editor "Jurnal Kacamata" di Fakultas Filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar