Selasa, 23 Februari 2010

Fakultas Filsafat Kebanggaan Kami

Apa yang ada dibenak para pimpinan Fakultas Filsafat, ketika mereka "menjual" Fakultas ini kepada calon-calon mahasiswa dengan menggunakan semacam penelitian, yang menjabarkan mengenai pos-pos lapangan pekerjaan yang berhasil dikuasai oleh para alumni. Beberapa persen ada di pos Parlemen, PNS, Pegawai bank, Dosen, LSM, Militer, Jurnalis, dlsb. Bahkan pada acara reuni yang menghadirkan para alumni Filsafat, mereka sangat bangga dan sangat menjual para alumni yang berhasil menembus pasar tenaga kerja, khususnya Pegawai bank dan anggota parlemen. Kemana sosok Fulan yang selalu diceritakan oleh salah seorang oknum dosen yang pengangguran itu? Kemana ribuan alumni yang mungkin sekarang menjadi tukang becak atau bahkan menjadi gila? Tak pernah dibuka!

Bukankah Fakultas ini adalah bertujuan untuk mencetak para pemikir (yang berlandaskan Pancasila?) bukannya para pekerja yang hanya menjadi robot berdasi atau terjebak didalam sebuah sistem, entah itu perusahaan, pasar, bahkan negara. Bukankah Fakultas ini membentuk manusia-manusia yang otonom, krirtis, rasional, komprehensif, koeheren, bla..bla..bla.

Apabila saya ingin bekerja, tentu saya memilih jurusan yang sudah jelas keterkaitan bidang studinya dengan lapangan pekerjaan yang saya kehendaki. Misal, saya kepengin jadi dokter, tentu saja saya mengambil jurusan Kedokteran bukan Ekonomi atau Teknik Sipil. Begitupun Filsafat, kalau saya kepengin jadi Pegawai bank kenapa saya harus kuliah di Filsafat, atau kalau saya kepengen jadi PNS ngapain saya bergelut dengan MMF atau Logika I dan II. Fakultas Filsafat ya outputnya jadi pemikir, mikirin bagaimana bangsa ini supaya maju, bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa menunjang kemajuan sebuah peradaban, bagaimana ide-ide yang keluar bisa diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Bukan malah berpikir bagaimana caranya supaya dapat promosi dan mengenyangkan perut. Seharusnya para sarjana Filsafat sudah tidak memikirkan urusan perut karena (seharusnya) urusan perut sudah ditanggung negara. Urusan mahasiswa Filsafat ya berpikir dan berpikir, negara juga seharusnya menjamin kesejahteraan seorang filsuf, karena mereka dengan gagah berani bersedia menjadi "orang gila".

Menjadi sebuah keharusan, ketika Fakultas Filsafat menunjang segala kebutuhan mahasiswanya, melalui penyusunan kurikulum, sistematika perkuliahan, sampai pada teknis pelaksanaan perkuliahan. Saat ini, apa yang telah disusun oleh para pimpinan Fakultas memang sudah sangat menunjang, khususnya untuk menjadikan mahasiswanya menjadi mahasiswa yang siap kerja. Lantas apa yang salah? Pola pikir dari para pimpinan Fakultas sangat tidak realistis. Begitu gencarnya mereka melakukan sosialisasi mengenai seminar-seminar kewirausahaan, pelatihan-pelatihan, beberapa macam soft skill (MS Word, mungkin? ketik 10 jari? TOEFL-TOEIC, dll) dan mereka menekan ruang gerak mahasiswa dengan kebijakan presensinya, sehingga mereka melupakan apa yang paling terpenting untuk menunjang iklim kefilsafatan di kampus ini, yakni ruang-ruang diskusi. Kurikulum yang berlaku juga seharusnya tidak biasa-biasa saja, seperti lazimnya orang-orang Filsafat yang luar biasa.

Bukankah menjadi sebuah capaian luar biasa ketika suatu saat nanti, kita mampu menekan pemerintah untuk membuat sebuah departemen khusus Filsafat atau direktorat Filsuf, yang isinya pemikir dan para pemecah masalah, para pengambil kebijakan yang tentunya sangat bijaksana. Bagaimana untuk mencapai itu, tentu dimulai dari pembenahan elementer ditingkat penggodokannya (baca : kampusnya)

semoga semua bisa berbahagia :)

1 komentar:

  1. Memang benar bahwa seharusnya negaralah yang memikirkan perut orang-orang filsafat ini, karena mereka sudah mau memikirkan sesuatu yang jarang dipikir orang lain, mereka sudah bersedia memeras otaknya untuk hal-hal di luar kepentingan mereka, mereka sudah menyiapkan diri untuk menjadi manusia yang utuh dengan memaksimalkan akalnya.

    BalasHapus